PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wasiat
Istilah wasiat
berasal dari bahasa Arab yang berarti tausiyah, kata kerjanya berasal
dari ausa, dan secara etimologi wasiat berarti pesan, nasehat dan juga
diartikan menyari’atkan. Wasiat dalam pengertian ilmu fiqh (hukum islam) adalah
sebagai berikut:
a.
Menurut
al Ibyani, wasiat adalah sistem kepemilikan yang disandarkan kepada keadaan
sesudah matinya orang yang berwasiat secara sukarela, dapat berupa benda atau
manfaatnya.
b.
Menurut
Sayid Sabiq, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa
benda, hutang atau manfaat dengan syarat orang yang menerima wasiat itu
memiliki kemampuan menerima hibah setelah matinya orang yang berwasiat.
c.
Menurut
Ibnu Rusyd, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain mengenai
hartanya atau kepada beberapa orang yang kepemilikannya terjadi setelah matinya
orang yang berwasiat.
d.
Menurut
Muhammad Sarbini al Khatib, wasiat adalah memberikan sesuatu dengan kemauan
sendiri yang dijalankan sesudah orangnya meninggal dunia.
e.
Undang-undang
wasiat Mesir No. 71 tahun 1946 pasal 1 menyebutkan bahwa wasiat itu merupakan
tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang disandarkan kepada keadaan
sudah mati.
Pada Kompilasi
Hukum Islam bab 1 Ketentuan Umum Pasal 171 butir f wasiat adalah pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah pemberian
harta benda kepada orang lain yang diberikan setelah meninggalnya si pemberi
wasiat dimana si penerima wasiat harus sesuai dengan syarat-syarat penerima
wasiat.[1]
B.
Rukun dan Syarat Wasiat
Secara garis
besar syarat-syarat wasiat adalah mengikuti rukun-rukunnya. Dalam hal ini para
Ulama berbeda argumentasi dalam memberi uraian tentang rukun dan syarat wasiat.
Para ahli hukum berselisih tentang rukun dan syarat-syarat wasiat sehingga
wasiat itu sah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan kehendak syara’.
Apabila dilihat dari pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan
hukum sepihak, jadi dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis. Sayyid Sabiq
menyebutkan bahwa rukun wasiat itu hanya menyerahkan dari orang yang berwasiat
saja, selebihnya tidak perlu. Sedangkan Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa rukun
wasiat harus disandarkan kepada empat hal yaitu:
a.
Orang
yang berwasiat (al mushi)
Dengan
memenuhi syarat;[2]
1)
Baligh
2)
Berakal
Sehat
3)
Bebas
menyatakan kehendaknya
4)
Sadar
atas semua tindakan yang dilakukan
5)
Tidak
berada di bawah pengampuan
b.
Orang
yang menerima wasiat (al musha lahu)
Disyaratkan
harus;
1)
Mempunyai
keahlian memiliki, jadi tidak sah berwasiat kepada orang yang tidak bisa
memiliki
2)
Orang
yang menerima wasiat itu masih hidup ketika dilangsungkan ucapan wasiat,
meskipun dalam perkiraan karena itu dapat memasukkan wasiat kepada janin yang
masih ada dalam perut ibunya, sebab janin itu dalam perkiraannya sebagai orang
yang masih hidup.
3)
Orang
yang menerima wasiat itu tidak melakukan pembunuhan terhadap orang yang
berwasiat secara sengaja atau secara salah. Sekiranya ada orang yang berwasiat
kepada orang lain, kemudian orang yang setelah wasiat diucapkan, maka terjadi
batal wasiat itu. Kalau orang yang membunuh itu anak kecil atau orang gila maka
wasiatnya bisa diteruskan, meskipun ahli warisnya tidak memperbolehkannya.
4)
Orang
yang menerima wasiat tidak disyariatkan harus orang islam, oleh karena itu sah
saja wasiat orang muslim kepada orang kafir dzimmi, kecuali kepada orang kafir
harbi.
Menurut Imam
Syafi’i ada syarat lain yaitu dalam berwasiat tidak boleh kepada orang yang
lemah dan karena orang yang lemah tidak bisa membelanjakan harta, seperti sudah
tua, sakit-sakitan, dan wasiat lebih baik diberikan ketika menjelang mati.
c.
Barang
yang diwasiatkan (al musha bihi)
Beberapa syarat
dari harta atau sesuatu yang diwasiatkan adalah sebagai berikut:
1)
Sesuatu
atau harta yang diwasiatkan itu telah ada pada waktu yang berwasiat meninggal
dunia dan telah dapat pula dialih milikkan dari yang berwasiat kepada penerima
wasiat, sesuai dengan syarat-syarat alih milik yang berlaku.
2)
Yang
boleh diwasiatkan adalah harta, pembayaran hutang atau pengambilan manfaat dari
suatu barang. Yang bukan dihukum sebagai harta tidak boleh diwasiatkan, seperti
bangkai, atau harta yang tidak pantas dimiliki seperti khamer dan sebagainya.
3)
Jumlah
harta yang diwasiatkan itu tidak boleh
lebih dari sepertiga dari harta yang dimiliki oleh yang berwasiat.
d.
Sighat
(ijab qabul)
Menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
perwasiatan tersebut Kompilasi Hukum Islam pasal 195 mengemukakan masalah ini
yang juga mengatur teknis pelaksanaan wasiat adalah sebagai berikut:
1)
Apabila
wasiat itu dilakukan secara lisan, maupun tertulis hendaklah pelaksanaannya
dilakukan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.
2)
Wasiat
hanya dibolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan, kecuali ada persetujuan
semua ahli waris.
3)
Wasiat
kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
4)
Pernyataan
persetujuan pada poin b dan c dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis di
hadapan dua orang saksi atay dibuat di hadapan notaris.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dinyatakan dalam pasal 194 dan
195 menyebutkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
perwasiatan adalah sebagai berikut:
1)
Bahwa
orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal
sehat, dan didasarkan kepada kesukarelaannya.
2)
Harta
benda yang diwasiatkan harus merupakan hak orang yang berwasiat.
3)
Peralihan
hak terhadap barang atau benda yang diwasiatkan adalah setelah yang berwasiat
itu meninggal dunia.
Disyaratkan orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli
kebajikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.
Kompetensi ini didasarkan atas akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiyar, dan
tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian.[3]
C.
Jenis Wasiat
Menurut isinya, wasiat terbagi dalam
2 (dua) jenis, yaitu:
a)
Wasiat
yang berisi pengangkatan waris (erfstelling)
Tertuang dalam Pasal 954 yang
berbunyi “wasiat pengangkatan waris adalah wasiat dengan mana orang yang telah
mewasiatkan, memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang, seluruh atau
sebagian (setengah, sepertiga) dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal
dunia”, orang yang ditunjuk itu, dinamakan testamentaire erfgenaam yaitu
ahli waris menurut wasiat, dan sama halnya dengan seorang ahli waris menurut
undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder
algemene titel”
b)
Wasiat
yang berisi hibah (Hibah Wasiat) atau legaat
Hibah wasiat adalah suatu penetapan
yang khusus di dalam suatu wasiat, dengan mana yang mewasiatkan memberikan
kepada seseorang atau berapa orang;
a.
Beberapa
barang tertentu
b.
Barang-barang
dari satu jenis tertentu
c.
Hak
pakai hasil dari seluruh atau sebagian dari harta peninggalannya
d.
Sesuatu
hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda
tertentu dari boedel.
Orang yang menerima legaat bukanlah ahli waris, karena itu
ia tidak menggantikan si meninggal dalam hak-hak dan kewajibannya, ia hanya
berhak untuk menuntut penyerahan benda atau pelaksanaan hak yang diberikan
padanya.[4]
[1] Sidik Tono, Kedudukan
Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian agama
Republik Indonesia, 2012), hal. 47-48.
[2] Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 136
[3] As-Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hal. 225
[4] Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: PT Internasa, 1989), hal. 107
No comments:
Post a Comment