Friday, March 6, 2020

Makalah Wasiat dalam Prespektif Islam


PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wasiat
Istilah wasiat berasal dari bahasa Arab yang berarti tausiyah, kata kerjanya berasal dari ausa, dan secara etimologi wasiat berarti pesan, nasehat dan juga diartikan menyari’atkan. Wasiat dalam pengertian ilmu fiqh (hukum islam) adalah sebagai berikut:
a.       Menurut al Ibyani, wasiat adalah sistem kepemilikan yang disandarkan kepada keadaan sesudah matinya orang yang berwasiat secara sukarela, dapat berupa benda atau manfaatnya.
b.      Menurut Sayid Sabiq, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa benda, hutang atau manfaat dengan syarat orang yang menerima wasiat itu memiliki kemampuan menerima hibah setelah matinya orang yang berwasiat.
c.       Menurut Ibnu Rusyd, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain mengenai hartanya atau kepada beberapa orang yang kepemilikannya terjadi setelah matinya orang yang berwasiat.
d.      Menurut Muhammad Sarbini al Khatib, wasiat adalah memberikan sesuatu dengan kemauan sendiri yang dijalankan sesudah orangnya meninggal dunia.
e.       Undang-undang wasiat Mesir No. 71 tahun 1946 pasal 1 menyebutkan bahwa wasiat itu merupakan tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang disandarkan kepada keadaan sudah mati.
Pada Kompilasi Hukum Islam bab 1 Ketentuan Umum Pasal 171 butir f wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah pemberian harta benda kepada orang lain yang diberikan setelah meninggalnya si pemberi wasiat dimana si penerima wasiat harus sesuai dengan syarat-syarat penerima wasiat.[1]



B.     Rukun dan Syarat Wasiat
Secara garis besar syarat-syarat wasiat adalah mengikuti rukun-rukunnya. Dalam hal ini para Ulama berbeda argumentasi dalam memberi uraian tentang rukun dan syarat wasiat. Para ahli hukum berselisih tentang rukun dan syarat-syarat wasiat sehingga wasiat itu sah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan kehendak syara’. Apabila dilihat dari pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum sepihak, jadi dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis. Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa rukun wasiat itu hanya menyerahkan dari orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu. Sedangkan Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa rukun wasiat harus disandarkan kepada empat hal yaitu:
a.       Orang yang berwasiat (al mushi)
Dengan memenuhi syarat;[2]
1)      Baligh
2)      Berakal Sehat
3)      Bebas menyatakan kehendaknya
4)      Sadar atas semua tindakan yang dilakukan
5)      Tidak berada di bawah pengampuan
b.      Orang yang menerima wasiat (al musha lahu)
Disyaratkan harus;
1)      Mempunyai keahlian memiliki, jadi tidak sah berwasiat kepada orang yang tidak bisa memiliki
2)      Orang yang menerima wasiat itu masih hidup ketika dilangsungkan ucapan wasiat, meskipun dalam perkiraan karena itu dapat memasukkan wasiat kepada janin yang masih ada dalam perut ibunya, sebab janin itu dalam perkiraannya sebagai orang yang masih hidup.
3)      Orang yang menerima wasiat itu tidak melakukan pembunuhan terhadap orang yang berwasiat secara sengaja atau secara salah. Sekiranya ada orang yang berwasiat kepada orang lain, kemudian orang yang setelah wasiat diucapkan, maka terjadi batal wasiat itu. Kalau orang yang membunuh itu anak kecil atau orang gila maka wasiatnya bisa diteruskan, meskipun ahli warisnya tidak memperbolehkannya.
4)      Orang yang menerima wasiat tidak disyariatkan harus orang islam, oleh karena itu sah saja wasiat orang muslim kepada orang kafir dzimmi, kecuali kepada orang kafir harbi.
Menurut Imam Syafi’i ada syarat lain yaitu dalam berwasiat tidak boleh kepada orang yang lemah dan karena orang yang lemah tidak bisa membelanjakan harta, seperti sudah tua, sakit-sakitan, dan wasiat lebih baik diberikan ketika menjelang mati.
c.       Barang yang diwasiatkan (al musha bihi)
Beberapa syarat dari harta atau sesuatu yang diwasiatkan adalah sebagai berikut:
1)      Sesuatu atau harta yang diwasiatkan itu telah ada pada waktu yang berwasiat meninggal dunia dan telah dapat pula dialih milikkan dari yang berwasiat kepada penerima wasiat, sesuai dengan syarat-syarat alih milik yang berlaku.
2)      Yang boleh diwasiatkan adalah harta, pembayaran hutang atau pengambilan manfaat dari suatu barang. Yang bukan dihukum sebagai harta tidak boleh diwasiatkan, seperti bangkai, atau harta yang tidak pantas dimiliki seperti khamer dan sebagainya.
3)      Jumlah harta  yang diwasiatkan itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang dimiliki oleh yang berwasiat.
d.      Sighat (ijab qabul)
Menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perwasiatan tersebut Kompilasi Hukum Islam pasal 195 mengemukakan masalah ini yang juga mengatur teknis pelaksanaan wasiat adalah sebagai berikut:
1)      Apabila wasiat itu dilakukan secara lisan, maupun tertulis hendaklah pelaksanaannya dilakukan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.
2)      Wasiat hanya dibolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan, kecuali ada persetujuan semua ahli waris.
3)      Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
4)      Pernyataan persetujuan pada poin b dan c dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis di hadapan dua orang saksi atay dibuat di hadapan notaris.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dinyatakan dalam pasal 194 dan 195 menyebutkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perwasiatan adalah sebagai berikut:
1)      Bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan didasarkan kepada kesukarelaannya.
2)      Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak orang yang berwasiat.
3)      Peralihan hak terhadap barang atau benda yang diwasiatkan adalah setelah yang berwasiat itu meninggal dunia.
Disyaratkan orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebajikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Kompetensi ini didasarkan atas akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiyar, dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian.[3]
C.    Jenis Wasiat
Menurut isinya, wasiat terbagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
a)      Wasiat yang berisi pengangkatan waris (erfstelling)
Tertuang dalam Pasal 954 yang berbunyi “wasiat pengangkatan waris adalah wasiat dengan mana orang yang telah mewasiatkan, memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang, seluruh atau sebagian (setengah, sepertiga) dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal dunia”, orang yang ditunjuk itu, dinamakan testamentaire erfgenaam yaitu ahli waris menurut wasiat, dan sama halnya dengan seorang ahli waris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene titel”
b)      Wasiat yang berisi hibah (Hibah Wasiat) atau legaat
Hibah wasiat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu wasiat, dengan mana yang mewasiatkan memberikan kepada seseorang atau berapa orang;
a.       Beberapa barang tertentu
b.      Barang-barang dari satu jenis tertentu
c.       Hak pakai hasil dari seluruh atau sebagian dari harta peninggalannya
d.      Sesuatu hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel.
Orang yang menerima legaat bukanlah ahli waris, karena itu ia tidak menggantikan si meninggal dalam hak-hak dan kewajibannya, ia hanya berhak untuk menuntut penyerahan benda atau pelaksanaan hak yang diberikan padanya.[4]


[1] Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementrian agama Republik Indonesia, 2012), hal. 47-48.
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 136
[3] As-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hal. 225
[4] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Internasa, 1989), hal. 107

No comments:

Post a Comment

Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia

 Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia Oleh : Sukron Ibnu Rofiq Banyak kasus pelanggaran di Indonesia yang mencermink...