A.
PEMBAHASAN
Hadis
Ibnu Abbas Riwayat
Abu Daud Tentang Larangan Membunuh Empat Binatang
Melata
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَنَّ النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ اَرْبَعِ مِنَ الدَّوَابِّ : النَّمْلَةُ ,
وَالنَّحْلَةُ , وَالْهُدْهُدُ , وَالصُّرَدُ . رواه أبو داود (5267)
“Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ
melarang membunuh semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad (sejenis
burung pipit)” (HR. Abu Daud)[1]
Selintas jika dipahami dari hadits di
atas menyatakan bahwa membunuh semut adalah hal yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ, sehingga termasuk perbuatan yang
harus dihindari. Namun para ulama mengarahkan bahwa semut yang dimaksud dalam
hadits tersebut tidaklah bermakna mutlak yang mencakup seluruh jenis semut,
namun hanya tertentu pada semut-semut besar dan panjang yang tersebut dalam
kisah Nabi Sulaiman. Sehingga ketika semut selain jenis ini boleh-boleh saja
untuk dibunuh, terlebih ketika semut itu menyakiti terhadap manusia atau
mengganggu aktivitasnya. Bahkan jika semut besar dan panjang yang haram
dibunuh ini menyakiti manusia maka keharaman membunuhnya menjadi hilang,
sehingga boleh-boleh saja hewan ini dibunuh.
Bolehnya membunuh semut ini dengan
catatan sekiranya cara membunuhnya tidak dengan cara membakarnya, tapi dengan
cara lain seperti memukul atau menginjaknya, sebab membunuh semut dengan
perantara membakar akan menyakiti terhadap semut itu sendiri. Kita diperintahkan untuk menggunakan cara yang baik
dalam membunuh hewan. Salah satu cara yang baik adalah tidak membunuh dengan
sesuatu yang akan semakin menyiksa hewan tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
membunuh semut adalah hal yang diperbolehkan kecuali pada jenis semut yang
besar dan panjang yang biasa ditemui saat membongkar rumah, sedangkan pada
jenis selain itu diperbolehkan terlebih saat wujudnya dapat menyakiti
manusia. [2]
Pandangan Ulama
Mengenai Hadits Riwayat Abu Daud
Ada empat binatang yang dilarang Allah SWT untuk
membunuhnya, yakni semut, lebah, burung hud-hud, dan burung surad. Larangan itu
berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Rasulullah melarang membunuh empat macam
hewan, semut, lebah, hud-hud, dan shurad” (HR Abu Daud).
1.
Semut
Suatu hari Rasulullah
SAW pernah bercerita sederhana kepada para sahabatnya bahwa di suatu zaman
dahulu ada seorang nabi yang menghentikan perjalanannya karena letih. Ia kemudian
berteduh di bawah sebuah pohon. Di sana seekor semut malang menggigitnya. Di
bawah pengaruh letih, nabi tersebut marah bukan kepalang. Ia memerintahkan
pendampingnya untuk mencari semut malang tersebut. Pengejaran berhasil.
Pendampingnya berhasil mengeluarkan semut tersebut dari dalam sarang sebelum ia
kemudian membakar sarangnya.
Nabi tersebut atas
tindakan berlebihannya itu ditegur oleh Allah SWT. Ia dipersalahkan karena
telah berbuat melampaui batas atas semut malang tersebut. Cerita ini dapat ditemukan
dalam hadits riwayat Sunan Abu Dawud sebagai berikut:
عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال نزل نبي من الأنبياء تحت شجرة فلدغته نملة فأمر بجهازه فأخرج من تحتها ثم أمر بها فأحرقت فأوحى الله إليه فهلا نملة واحدة
Artinya, “Dari Abu
Hurairah, Rasulullah SAW bercerita bahwa salah seorang nabi di zaman dahulu
pernah singgah di bawah sebuah pohon. Di sana ia digigit oleh semut. Lalu ia
memerintahkan untuk mencari semut tersebut. Semut itu dikeluarkan dari
sarangnya, lalu ia memerintahkan untuk membakar sarangnya. Allah setelah itu
menegur, “Mengapa kau tidak membunuh seekor semut saja?” (HR Abu Dawud).
Cerita serupa juga dapat ditemukan pada riwayat Imam
Bukhari. Pada riwayat tersebut, Allah menegur nabi yang membalas semut malang
secara berlebihan. Allah menyayangkan pembakaran atas sekelompok semut atas
kesalahan seekor semut belaka. Allah pada riwayat ini juga menyebut semut
sebagai hewan yang bertasbih:
وأبي سلمة أن أبا هريرة رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول قرصت نملة نبيا من الأنبياء فأمر بقرية النمل فأحرقت فأوحى الله إليه أن قرصتك نملة أحرقت أمة من الأمم تسبح
Artinya, “Dari Abu
Salamah, Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bercerita bahwa suatu
ketika seekor semut mengigit seorang nabi. Ia kemudian memerintahkan untuk
mendatangi pemukiman semut, lalu pemukiman itu dibakar. Allah menegurnya,
‘Seekor semut menggigitmu, tapi kamu membakar satu umat (sekelompok semut) yang
kerjanya bertasbih?” (HR Bukhari).[3]
2.
Lebah
Sementara lebah
bekerja bukan karena perintah, tetapi insting yang Allah SWT berikan kepadanya.
Madu yang dihasilkan dikonsumsi manusia, lebah mengabdikan diri untuk manusia.
Allah SWT berfirman,
وَأَوْحَىٰ
رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ
الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي
سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا ۚ يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ
أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِّلنَّاسِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang di bukit-bukti, di pohon-pohon kayu,
dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, dan tiap-tiap (macam) buah-buahan
dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).Dari perut lebah itu
keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya dan di dalamnya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan" (QS An Nahl: 68-69).
3.
Burung hud-hud dan
shurad
Para ulama kemudian
mencari alasan mengapa binatang tersebut tidak boleh dibunuh. Ada yang
mengaitkannya dengan sejarah nabi dan rasul, seperti hud-hud dan semut. Ada
pula yang mengaitkannya dengan manfaat yang diberikannya kepada manusia,
seperti lebah penghasil madu. Namun belum terjawab alasan terkait larangan pada
burung Shurad. Tak bisa dipungkiri, binatang tersebut memiliki keunikan dan
keistimewaan dari binatang lainnya. Shurad adalah burung pemangsa karnifora
yang juga pemangsa serangga kecil. Cara membunuhnya terbilang sadis, mangsa
akan digantung di dahan yang tajam dan tinggi. Shurad dalam bahasa Indonesia
disebut tengkek, shurad merupakan burung banyak hidup Eurasia dan Afrika.
Sedangkan hud-hud
adalah burung yang terdapat dalam Al Quran, dengan ciri berwarna-warni dan memiliki
mahkota di kepalanya. Burung ini banyak ditemukan di Eurasia. Termasuk burung
berukurang sedang, sekitar 25-32 cm panjangnya. Makanannya serangga, reptil
kecil, biji-bijian dan kadang buah-buahan. Pada masa Mesir kuno, hud-hud
dianggap hewan suci dan selalu terlihat simbolnya di makam. Pada kitab Taurat,
hud-hud juga dilarang untuk dimakan, karena sebagai binatang menjijikan.
Dalam literatur Islam,
hud-hud ditemukan dalam kisah Nabi Sulaiman AS. Ketika Nabi Sulaiman AS
memeriksa pengikutnya, dari kalangan manusia, jin, dan hewan. Namun tak
menemukan burung hud-hud,Nabi Sulaiman AS kemudian mengatakan akan
menghukumnya.Tapi kemudian hud-hud datang dengan kabar ada seorang ratu dengan
kerajaan cukup besar dan tidak menyembah Allah SWT. Cerita ini yang mengantarkan
Ratu Bilqis akhirnya memeluk Islam. [4]
Hadis Ibnu Umar Riwayat Abu Daud Tentang
Al-Jallalah
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ اللّٰهُ صَلَّى
اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْجَلاَّ لَةِ أَنْ يُرْكَبَ عَلَيْهَا
اَوْيُشْرَبَ مِنْ اَلْبَانِهَا . رواه أبو داود (3787)
Dari
Ibnu Umar R.A. Berkata: Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari
mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.” (HR. Abu
Daud no. 3785).
Hewan
jalalah adalah hewan halal yang mayoritas makanan utamanya nya adalah barang
najis sehingga haram dimakan dan di minum susu darinya. Hewan jalalah akan
kembali halal apabila dia dikurung selama 3 hari dan diberi makan makanan yang
halal. Para ulama ada yang mengatakan harus dikurung selama 40 hari.
Hadits-hadits
berkaitan dengan hewan jalalah
1.
Hadis
yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra:
نهى
عن أكل الجلالة وألبانها
" Rasulullah SAW melarang makan binatang yang
memakan najis dan meminum susunya." (H.R. Hakim dan Tirmizi)
2. Hadis
yang diriwayat dari Ibnu Abbas ra:
نهى
عن لبن الجلالة
" Nabi SAW
melarang minum susu binatang yang memakan najis." (H.R.HakimdanTirmizi)
Dalam kitab Syarh
al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin dijelaskan terjadi khilaf ulama Syafi’iyah
hukum memakan hewan jalalah. Pendapat
al-Rafi’i dalam al-Muharrar haram makannya apabila nyata berubah bau daging
dengan sebab memakan kotoran. Namun Imam al-Nawawi seorang ulama rujukan dalam
kalangan ulama pengikut Syafi’iyah sesudahnya berpendapat hanya makruh.[5]
Pendapat makruh ini berpendapat larangan dalam hadits hanya bersifat makruh
karena disamakan dengan daging berubah baunya yang disebabkan lama disimpan
yang hukumnya hanya makruh dimakan.
Selanjut dalam Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj
al-Thalibin dijelaskan, adapun apabila sudah hilang baunya dan menjadi baik
dagingnya dengan sebab diberikan makanan yang suci kepada hewan jalalah, maka
halal memakannya tanpa makruh. Ibnu Umar mengatakan :
ان
النبي صلعم نهى عن أكل الجلالة وشرب وألبانها حتى تعطف اربعين ليلة
“Sesungguhnya Nabi SAW melarang memakan
hewan jalalah dan minum susunya sehingga diberikan makanan yang suci selama
empat puluh malam. (H.R. Darulquthni, al-Hakim dan Baihaqi, al-Hakim
mengatakan shahih isnad, sedangkan Baihaqi mengatakan tidak kuat).[6]
Penyebutan diberikan makanan yang suci selama empat
puluh malam hanya mengikuti kebiasaan, bukan qaid yang dapat diambil mafhum
mukhalafahnya. Karena itu, apabila dapat menghilangkan baunya dalam waktu
kurang dari empat puluh malam, juga hukumnya halal dimakan. Khilaf di atas juga berlaku pada
hukum meminum susu dan telur hewan jalalah.
Hadis Abdurrahman bin Utsman riwayat Abu
Daud Tentang Larangan
Membunuh Katak
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ الْقُرَشِىُّ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ أَنَّ
طَبِيْبًا سَاَلَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الضِّفْدَعِ
يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ , فَنَهَاه النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ قَتْلِهَا . رواه أبو داود (3871)
”Abdurrahman bin Utsman radhiyallahu
'anhuberkata: Seorang dokter bertanya kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tentang kodok yang dijadikan obat,
maka Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuhnya (H.R. Bukhori dan Dawud)”
Berdasarkan ayat
tersebutkatak dilarang untuk dibunuh dikarenakan dia memberikan manfaat sebagai
obat.
Diriwayatkan
oleh Abdurrazaaq (211H)rahimahullah dalam kitabnya
“Al-Mushannaf” 4/446 no.8392:
عَنْ
مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «كَانَتِ الضُّفْدَعُ تُطْفِئُ النَّارَ
عَنْ إِبْرَاهِيمَ، وَكَانَ الْوَزَغُ يَنْفُخُ فِيهِ، فَنُهِيَ عَنْ قَتْلِ
هَذَا، وَأُمِرَ بِقَتْلِ هَذَا»
“Aisyah radhiyallahu'anha berkata:
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Dulunya kodok memadamkan api dari nabi Ibrahim
(ketika dibakar), sedangkan cicak menghidupkannya padanya, maka dilarang
membunuh ini (kodok)dan diperintahkan membunuh ini (cicak)”.
Dalam hadis ini yang
diriwayatkan oleh aisyah tentang kisah nabi Ibrahim ketika sedang dibakar.
Dalam hadis tersebut tertera bahwa katak yang memadamkan api dari nabi Ibrahim
dan sedangkan cicak yang menyalakan artinya. Oleh karena itu nabi Muhammad
melarang untuk membunuh katak.
Hadits Anas bin Malik radhiyallahu
'anhu
Diriwayatkan
oleh Abdurrazaaq dalam kitabnya “Al-Mushannaf” 4/446 no.8393:
قَالَ:
أَخْبَرَنَا أَبُو سَعِيدٍ الشَّامِيُّ، عَنْ أَبَانَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«أَمِّنُوا الضُّفْدَعَ؛ فَإِنَّ صَوْتَهُ الَّذِي تَسْمَعُونَ تَسْبِيحٌ،
وَتَقْدِيسٌ، وَتَكْبِيرٌ، إِنَّ الْبَهَائِمَ اسْتَأْذَنَتْ رَبَّهَا فِي أَنْ
تُطْفِئَ النَّارَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ، فَأَذِنَ لِلضَّفَادِعِ فَتَرَاكَبَتْ
عَلَيْهِ، فَأَبْدَلَهَا اللَّهُ بِحَرِّ النَّارِ الْمَاءَ»
“Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallambersabda: “Berilah keamanan bagi kodok (jangan dibunuh),
kaena sesungguhnya suaranya yang kalian dengan adalah tasbih, takqdis, dan takbir.
Sesungguhnya hewan-hewan meminta izin kepada Rabb-nya untuk memadamkan api dari
nabi Ibrahim, maka diizinkanlah bagi kodok. Kemudian api menimpanya maka Allah
menggantikan untuknya panas api dengan air”.
[1]
Abu Firly
Bassam Taqiy, Terjemah Bulughul Maram; Kumpulan Hadis Hukum Panduan Hidup
Muslim Sehari-hari, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2010), hlm. 358.
[2] http://www.nu.or.id/post/read/99410/hukum-membunuh-semut
diakses pada hari Minggu, 12 Mei 2019 pukul 13.47 WIB.
[3] http://www.nu.or.id/post/read/102040/ketika-seorang-nabi-digigit-seekor-semut-yang-malang
diakses pada hari Minggu, 12 Mei 2019 pukul 14.11 WIB.
[4]http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/12/08/allah-swt-melarang-membunuh-4-binatang-ini-begini-alasannya-menurut-para-ulama?page=all diakses pada hari Sabtu, 11 Mei 2019 pukul 22.17 WIB.
[5] Jalaluddin al-Mahalli, Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj
al-Thalibin, (dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah) Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 261
No comments:
Post a Comment