Wednesday, March 4, 2020

Makalah Binatang Yang Dilarang Dibunuh


A.    PEMBAHASAN
Hadis Ibnu Abbas Riwayat Abu Daud Tentang Larangan Membunuh Empat Binatang Melata
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَنَّ النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ اَرْبَعِ مِنَ الدَّوَابِّ : النَّمْلَةُ , وَالنَّحْلَةُ , وَالْهُدْهُدُ , وَالصُّرَدُ . رواه أبو داود (5267)
“Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang membunuh semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad (sejenis burung pipit)” (HR. Abu Daud)[1]
Selintas jika dipahami dari hadits di atas menyatakan bahwa membunuh semut adalah hal yang dilarang oleh Rasulullah , sehingga termasuk perbuatan yang harus dihindari. Namun para ulama mengarahkan bahwa semut yang dimaksud dalam hadits tersebut tidaklah bermakna mutlak yang mencakup seluruh jenis semut, namun hanya tertentu pada semut-semut besar dan panjang yang tersebut dalam kisah Nabi Sulaiman. Sehingga ketika semut selain jenis ini boleh-boleh saja untuk dibunuh, terlebih ketika semut itu menyakiti terhadap manusia atau mengganggu aktivitasnya. Bahkan jika semut besar dan panjang  yang haram dibunuh ini menyakiti manusia maka keharaman membunuhnya menjadi hilang, sehingga boleh-boleh saja hewan ini dibunuh.
Bolehnya membunuh semut ini dengan catatan sekiranya cara membunuhnya tidak dengan cara membakarnya, tapi dengan cara lain seperti memukul atau menginjaknya, sebab membunuh semut dengan perantara membakar akan menyakiti terhadap semut itu sendiri. Kita diperintahkan untuk menggunakan cara yang baik dalam membunuh hewan. Salah satu cara yang baik adalah tidak membunuh dengan sesuatu yang akan semakin menyiksa hewan tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membunuh semut adalah hal yang diperbolehkan kecuali pada jenis semut yang besar dan panjang yang biasa ditemui saat membongkar rumah, sedangkan pada jenis selain itu diperbolehkan terlebih saat wujudnya dapat menyakiti manusia. [2]
Pandangan Ulama Mengenai Hadits Riwayat Abu Daud
Ada empat binatang yang dilarang Allah SWT untuk membunuhnya, yakni semut, lebah, burung hud-hud, dan burung surad. Larangan itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Rasulullah melarang membunuh empat macam hewan, semut, lebah, hud-hud, dan shurad” (HR Abu Daud).
1.      Semut
Suatu hari Rasulullah SAW pernah bercerita sederhana kepada para sahabatnya bahwa di suatu zaman dahulu ada seorang nabi yang menghentikan perjalanannya karena letih. Ia kemudian berteduh di bawah sebuah pohon. Di sana seekor semut malang menggigitnya. Di bawah pengaruh letih, nabi tersebut marah bukan kepalang. Ia memerintahkan pendampingnya untuk mencari semut malang tersebut. Pengejaran berhasil. Pendampingnya berhasil mengeluarkan semut tersebut dari dalam sarang sebelum ia kemudian membakar sarangnya.
Nabi tersebut atas tindakan berlebihannya itu ditegur oleh Allah SWT. Ia dipersalahkan karena telah berbuat melampaui batas atas semut malang tersebut. Cerita ini dapat ditemukan dalam hadits riwayat Sunan Abu Dawud sebagai berikut:
عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال نزل نبي من الأنبياء تحت شجرة فلدغته نملة فأمر بجهازه فأخرج من تحتها ثم أمر بها فأحرقت فأوحى الله إليه فهلا نملة واحدة
Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bercerita bahwa salah seorang nabi di zaman dahulu pernah singgah di bawah sebuah pohon. Di sana ia digigit oleh semut. Lalu ia memerintahkan untuk mencari semut tersebut. Semut itu dikeluarkan dari sarangnya, lalu ia memerintahkan untuk membakar sarangnya. Allah setelah itu menegur, “Mengapa kau tidak membunuh seekor semut saja?” (HR Abu Dawud).
Cerita serupa juga dapat ditemukan pada riwayat Imam Bukhari. Pada riwayat tersebut, Allah menegur nabi yang membalas semut malang secara berlebihan. Allah menyayangkan pembakaran atas sekelompok semut atas kesalahan seekor semut belaka. Allah pada riwayat ini juga menyebut semut sebagai hewan yang bertasbih:
وأبي سلمة أن أبا هريرة رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول قرصت نملة نبيا من الأنبياء فأمر بقرية النمل فأحرقت فأوحى الله إليه أن قرصتك نملة أحرقت أمة من الأمم تسبح
Artinya, “Dari Abu Salamah, Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bercerita bahwa suatu ketika seekor semut mengigit seorang nabi. Ia kemudian memerintahkan untuk mendatangi pemukiman semut, lalu pemukiman itu dibakar. Allah menegurnya, ‘Seekor semut menggigitmu, tapi kamu membakar satu umat (sekelompok semut) yang kerjanya bertasbih?” (HR Bukhari).[3]
2.      Lebah
Sementara lebah bekerja bukan karena perintah, tetapi insting yang Allah SWT berikan kepadanya. Madu yang dihasilkan dikonsumsi manusia, lebah mengabdikan diri untuk manusia. Allah SWT berfirman, 
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا ۚ يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِّلنَّاسِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang di bukit-bukti, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, dan tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya dan di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan" (QS An Nahl: 68-69).
3.      Burung hud-hud dan shurad
Para ulama kemudian mencari alasan mengapa binatang tersebut tidak boleh dibunuh. Ada yang mengaitkannya dengan sejarah nabi dan rasul, seperti hud-hud dan semut. Ada pula yang mengaitkannya dengan manfaat yang diberikannya kepada manusia, seperti lebah penghasil madu. Namun belum terjawab alasan terkait larangan pada burung Shurad. Tak bisa dipungkiri, binatang tersebut memiliki keunikan dan keistimewaan dari binatang lainnya. Shurad adalah burung pemangsa karnifora yang juga pemangsa serangga kecil. Cara membunuhnya terbilang sadis, mangsa akan digantung di dahan yang tajam dan tinggi. Shurad dalam bahasa Indonesia disebut tengkek, shurad merupakan burung banyak hidup Eurasia dan Afrika.
Sedangkan hud-hud adalah burung yang terdapat dalam Al Quran, dengan ciri berwarna-warni dan memiliki mahkota di kepalanya. Burung ini banyak ditemukan di Eurasia. Termasuk burung berukurang sedang, sekitar 25-32 cm panjangnya. Makanannya serangga, reptil kecil, biji-bijian dan kadang buah-buahan. Pada masa Mesir kuno, hud-hud dianggap hewan suci dan selalu terlihat simbolnya di makam. Pada kitab Taurat, hud-hud juga dilarang untuk dimakan, karena sebagai binatang menjijikan.
Dalam literatur Islam, hud-hud ditemukan dalam kisah Nabi Sulaiman AS. Ketika Nabi Sulaiman AS memeriksa pengikutnya, dari kalangan manusia, jin, dan hewan. Namun tak menemukan burung hud-hud,Nabi Sulaiman AS kemudian mengatakan akan menghukumnya.Tapi kemudian hud-hud datang dengan kabar ada seorang ratu dengan kerajaan cukup besar dan tidak menyembah Allah SWT. Cerita ini yang mengantarkan Ratu Bilqis akhirnya memeluk Islam. [4]
Hadis Ibnu Umar Riwayat Abu Daud Tentang Al-Jallalah
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ اللّٰهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْجَلاَّ لَةِ أَنْ يُرْكَبَ عَلَيْهَا اَوْيُشْرَبَ مِنْ اَلْبَانِهَا . رواه أبو داود (3787)
Dari Ibnu Umar R.A. Berkata: Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.” (HR. Abu Daud no. 3785).
Hewan jalalah adalah hewan halal yang mayoritas makanan utamanya nya adalah barang najis sehingga haram dimakan dan di minum susu darinya. Hewan jalalah akan kembali halal apabila dia dikurung selama 3 hari dan diberi makan makanan yang halal. Para ulama ada yang mengatakan harus dikurung selama 40 hari.
Hadits-hadits berkaitan dengan hewan jalalah
1.        Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra:
نهى عن أكل الجلالة وألبانها
" Rasulullah SAW melarang makan binatang yang memakan najis dan meminum susunya." (H.R. Hakim dan Tirmizi)
2.        Hadis yang diriwayat dari Ibnu Abbas ra:
نهى عن لبن الجلالة
" Nabi SAW melarang minum susu binatang yang memakan najis." (H.R.HakimdanTirmizi)
Dalam kitab Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin dijelaskan terjadi khilaf ulama Syafi’iyah hukum memakan hewan jalalah. Pendapat al-Rafi’i dalam al-Muharrar haram makannya apabila nyata berubah bau daging dengan sebab memakan kotoran. Namun Imam al-Nawawi seorang ulama rujukan dalam kalangan ulama pengikut Syafi’iyah sesudahnya berpendapat hanya makruh.[5] Pendapat makruh ini berpendapat larangan dalam hadits hanya bersifat makruh karena disamakan dengan daging berubah baunya yang disebabkan lama disimpan yang hukumnya hanya makruh dimakan.
 Selanjut dalam Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin dijelaskan, adapun apabila sudah hilang baunya dan menjadi baik dagingnya dengan sebab diberikan makanan yang suci kepada hewan jalalah, maka halal memakannya tanpa makruh. Ibnu Umar mengatakan :

ان النبي صلعم نهى عن أكل الجلالة وشرب وألبانها حتى تعطف اربعين ليلة
“Sesungguhnya Nabi SAW melarang memakan hewan jalalah dan minum susunya sehingga diberikan makanan yang suci selama empat puluh malam. (H.R. Darulquthni, al-Hakim dan Baihaqi, al-Hakim mengatakan shahih isnad, sedangkan Baihaqi mengatakan tidak kuat).[6]
Penyebutan diberikan makanan yang suci selama empat puluh malam hanya mengikuti kebiasaan, bukan qaid yang dapat diambil mafhum mukhalafahnya. Karena itu, apabila dapat menghilangkan baunya dalam waktu kurang dari empat puluh malam, juga hukumnya halal dimakan. Khilaf di atas juga berlaku pada hukum meminum susu dan telur hewan jalalah.

Hadis Abdurrahman bin Utsman riwayat Abu Daud Tentang Larangan Membunuh Katak
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ الْقُرَشِىُّ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ أَنَّ طَبِيْبًا سَاَلَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الضِّفْدَعِ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ , فَنَهَاه النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا . رواه أبو داود (3871)
Abdurrahman bin Utsman radhiyallahu 'anhuberkata: Seorang dokter bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kodok yang dijadikan obat, maka Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuhnya (H.R. Bukhori dan Dawud)”
Berdasarkan ayat tersebutkatak dilarang untuk dibunuh dikarenakan dia memberikan manfaat sebagai obat.
Diriwayatkan oleh Abdurrazaaq (211H)rahimahullah dalam kitabnya “Al-Mushannaf” 4/446 no.8392:
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «كَانَتِ الضُّفْدَعُ تُطْفِئُ النَّارَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ، وَكَانَ الْوَزَغُ يَنْفُخُ فِيهِ، فَنُهِيَ عَنْ قَتْلِ هَذَا، وَأُمِرَ بِقَتْلِ هَذَا»
Aisyah radhiyallahu'anha berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dulunya kodok memadamkan api dari nabi Ibrahim (ketika dibakar), sedangkan cicak menghidupkannya padanya, maka dilarang membunuh ini (kodok)dan diperintahkan membunuh ini (cicak)”.
Dalam hadis ini yang diriwayatkan oleh aisyah tentang kisah nabi Ibrahim ketika sedang dibakar. Dalam hadis tersebut tertera bahwa katak yang memadamkan api dari nabi Ibrahim dan sedangkan cicak yang menyalakan artinya. Oleh karena itu nabi Muhammad melarang untuk membunuh katak.
Hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu
Diriwayatkan oleh Abdurrazaaq dalam kitabnya “Al-Mushannaf” 4/446 no.8393:
قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو سَعِيدٍ الشَّامِيُّ، عَنْ أَبَانَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمِّنُوا الضُّفْدَعَ؛ فَإِنَّ صَوْتَهُ الَّذِي تَسْمَعُونَ تَسْبِيحٌ، وَتَقْدِيسٌ، وَتَكْبِيرٌ، إِنَّ الْبَهَائِمَ اسْتَأْذَنَتْ رَبَّهَا فِي أَنْ تُطْفِئَ النَّارَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ، فَأَذِنَ لِلضَّفَادِعِ فَتَرَاكَبَتْ عَلَيْهِ، فَأَبْدَلَهَا اللَّهُ بِحَرِّ النَّارِ الْمَاءَ»
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallambersabda: “Berilah keamanan bagi kodok (jangan dibunuh), kaena sesungguhnya suaranya yang kalian dengan adalah tasbih, takqdis, dan takbir. Sesungguhnya hewan-hewan meminta izin kepada Rabb-nya untuk memadamkan api dari nabi Ibrahim, maka diizinkanlah bagi kodok. Kemudian api menimpanya maka Allah menggantikan untuknya panas api dengan air”.



[1] Abu Firly Bassam Taqiy, Terjemah Bulughul Maram; Kumpulan Hadis Hukum Panduan Hidup Muslim Sehari-hari, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2010), hlm. 358.
[2] http://www.nu.or.id/post/read/99410/hukum-membunuh-semut diakses pada hari Minggu, 12 Mei 2019 pukul 13.47 WIB.
[5] Jalaluddin al-Mahalli, Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, (dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah) Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 261
[6] Ibid…261

No comments:

Post a Comment

Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia

 Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia Oleh : Sukron Ibnu Rofiq Banyak kasus pelanggaran di Indonesia yang mencermink...