PEMBAHASAN
A. Tasybih maqlub
Tasybih maqlub adalah menjadikan musyabbah sebagai musyabbah bih
dengan mendakwakan bahwa titik keserupaanya lebih kuat pada musyabbah.
Contoh:
Muhammad bin Wuhaib Al-Himyari berkata :
وَبَدَ
الصَّبَاحُ كَأَنَّ غُرَّتَهُ * وَجْهُ الخَلِيْفَةِ حِيْنَ يُمْتَدُحُ.
“Pagi
telah muncul, seakan-akan gebyarnya adalah wajah khalifah ketika dipuji[1].”
Al-Bujturi berkata :
كَأَنَّ
سَنَاهَابِالعَشِيِّ لِصُبْحِهَا * تَبَسُّمُ عِيْسَى حِيْنَ يَلْفِظُ
بِالْوَعْدُ.
“Seakan-akan
cahaya awan disore hari sampai menjelang pagi itu adlah senyuman isa
ketikamengucapkan janji.”
Penyair lain berkata:
أَحِنُّ لَهُمْ
وَدُونَهُمُ فَلاَةُ * كَأَنَّ فَسِيْحَهَا صَدْرُالحَلِيْمِ.
“Aku
rindu kepada mereka, namun untuk sampai ketempat mereka harus melewati tanah
lapang yang luasnya seperti lapang dadanya seorang penyantun”.
Al-Himyari menyatakn bahwa cemerlangnya gebyar pagi itu menyerupai
wajah khalifah ketika mendengar pujian dan sanjungan untuknya.
Dari pernyataan ini dapat kita ketahui bahwa tasybih yang dibuat oleh Al-Himyari
keluar dari gambaran yang ada di hati kita, yakni bahwa selamnya sesuatu itu
diserupakan kepada yang lain yang lebih kuat dalam
titik keserupaannya. Yang sering terdengar adalah bahwawajah khalifah
menyerupai gebyar pagi, sedangkan Al-Himyari menyatakan sebaliknya dengan
maksud untuk berlebih-lebihan habis-habiskan mendawakkan bahwa wajah syibeh
lebih kuat pada musyabbah. Tasybih demikian merupakan salah satu
keunggulan seni dan keindahan bahasa.
Al-Buhturi menyerupakan cahaya awan yang terus menerus memantul
sepanjang malam dengan senyuman orang yang dipujinya ketika menjajikan
pemberian. Padahal sudah pasti bahwa pantulan cahaya awan itu lebih kuat
daripada pantulan cahaya senyuman. Dan yang biasa kita dengar adalah senyuman
diserupakan dengan pantulan cahaya awan, sebagaimana kebiasaan para penyair.
Akan tetapi, Al-Buhturi menyatakan tasybih yang sebaliknya.
Dalam contoh tasybih terakhir, tanah lapang diserupakan dengan dada
seorang penyantun dalam hal keluasaanya.[2]
1.
Balaghah tasybih dan sebagian pengaruhnya bagi orang Arab dan Ahli
bahasa berikutnya.[3]
Balaghah tasybih muncul bilamana tasybih itu membawa kita dari
suatu keadaan kepada keadaan baru yang menyerupainya atau kepada gambaran
serupa yang mempunyai nilai lebih. Bila perpindahan gambaran itu jauh dan
jarang terlintas di hati atau disertai sedikit atau banyak khayalan, maka
tasybihnya akan semakin indah dan mengagumkan.
Contoh :
يُسْرِعُ
اللَّمْحَ قِى احْمِرَا رِكَمَا تُسْرِعُ فِى الَّمْحِ مُقْلَتةُ الغَضْبَانْ
“Bintang itu dalam kemerehannya mempercepat kerlipan cahayanya,
sebagaimana orang yang dalam puncak kemarahannya mempercepat kedipan dan
lirikan matanya.”
Karena penyerupaan kedipan bintang dengan kemerahan cahayanya
terhadap kecepatan kedipan dan lirikan mata orang yang marah adalah suatu
penyerupaan yang sangat jarang terjadi dan tidak akan dibuat kecuali oleh orang
sastrawan.
Contoh lain dalam syair:
وَكَأَنَّ
النُّجُوْ مَبَيْنَ دُجَاهَا * سُنَنٌ لَا حَ بَيْنَهُنَّ ابْتِدَا
“Seakan-akan bintang-bintang di antara kegelapan malam itu adalah
beberapa sunnah yang bersinar terang menerangi perbuatan bid’ah”.
Keindahan tasybih ini berada pada anggapan kita akan pengetahuan
dan kecerdikan penyair dalam menyususn tasybih antara dua keadaan yang tidak
pernah terlintas dalam hati adanya keserupaan itu yakni keserupaan keadaan
bintang-bintang dalam kegelapan malam dengan keadaan sunnahsunah agama yang
shahih, yang menyebar terpisahpisah diantara bid’ah-bid’ah yang bathil. Tasybih
diatas memiliki daya tarik lain yakni bahwa penyair mengkhayalkan bahwa
sunah-sunah itu bercahaya dengan terang, sedangkan bid’ah itu gelap
gulita.
Demikianlah nilai balaghah tasybih dari
sangat jarangnya dan jauhnya sasaran serta kader isinya yang khayali. Adapun
balaghah tasybih dari segi bentuk kalimatnya juga berbeda-beda. Tasybih yang
paling rendah tingkat balaghahnya adalah tasybih yang disebutkan seluruh
unsurnya, karena balaghah tasbih terletak pada dakwaan bahwa musyabbah adalah
adalah musyabbah bih itu sendiri. Sedangkan keberadaan adata tasybih dan wajah
syibeh akan menghalangi dakwaan ini, maka bila dibuang adatnya atau wajah
syibehnya tingkat balaghahnya akan meningkat karena dengan dibuangnya salah
satu unsur tersebut akan sedikit memperkuat dakwaan kesatuan musyabbah dengan
musyabbah bih. Adapun tasybih yang paling tingi tingkat balaghahnya adalah
tasybih baligh. Karena tasbih baligh dibuat atas dasar dakwaan bahwa musyabbah
dan musyabbah bih itu hal yang satu.[4]
Telah menjadi tradisi orang Arab dan para
ahli bahasa setelah mereka menyerupakan orang yang dermawan dengan laut dan
hujan, orang yang pemberani diserupakan dengan singa, wajah yang bagus
diserupakan dengan matahari dan bulan, orang yang cerdik cendikia dalam
menangani segala urusan diserupakan dengan pedang.
Banyak tokoh Arab yang terkenal dengan
kepribadian yang terpuji, hingga mereka dijadikan sebagai tolok ukur dalam
penyerupaan sifat-sifat. Oleh karena itu,orang yang tepat janji diserupakan
dengan Samuel[5].
Orang yang dermawan diserupakan dengan Hatim, orang yang adil diseupakan dengan
Umar[6].
Dan sebaliknya banyak pula orang Arab yang di kenal beperengai
sangat tercela, yang juga dijadikan sebagai tolok ukur tasybih, maka orang yang
kepayahan disebut dengan Baqil[7], orang yang suka mengejek diserupakan dengan Huthai’ah[8] dan orang yang keras kepala diserupakan dengan Hajjaj[9]
[1] http://jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/article/download/245/230 diakses pada hari selasa, 18 februari 2020
pukul 12.30 Wib.
[2] Ali al Jarim dan Musthafa Aamin, Terjemahan al Balaghatul
Wadhihah, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017) hlm. 78-79
[3] Yang dimaksud
dengan ahli bahasa berikutnya adalah orang-orang yang menggunakan bahasa Arab
yang lahir setelah periode orang Arab yang bahasanya menjadi pedoman.
[4] Ali al Jarim dan Musthafa Aamin, Terjemahan al
Balaghatul Wadhihah, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017) hlm. 87
[5] Samuel adalah
Samuel bin Hayyan al Yahudi, terkenal dengan kesetiaanya. Seorang penyair
jahiliyah, wafat pada tahun 62 sebelum hijrah
[7] Seorang laki-laki yang dikeanl payah suatu ketika ia
membeli seekor kijang seharga 11 Dirham. Ketika ditanya harganya, maka ia
mengacungkan seluruh jari tangannya untuk menunjukkan 10 Dirham dan ditambahkan
dengan lidahnya. Maka kijangnya lepas dan lari.
[8] Huthai’ah adalah seorang penyair muhadram (dua zaman:
jahiliyah dan Islam) ia seorang pengejek yang menyakitkan hampir tiap orang,
termasuk orang tuanya bahkan dirinya sendiri
[9] Hajjaj adalah Hajjaj bin Yusuf Atsaqofi seorang
pembantu Abdul Malik bin Marwan dan al Walid untuk Irak dan Khurasan ia seorang
yang kejam dan sadis
No comments:
Post a Comment