Friday, March 6, 2020

Makalah Aliran Jabbariyah dan Qodariyah


Pembahasan
A.   Aliran jabariyah
Aliran jabariyah lahir dari pembahasan perbuatan manusia (af’al al ibad) dasarnya adalah, apakah manusia itu memiliki kebebasan melakukan perbuatannya sendiri menurut kehendaknya, dan perbuatan itu ciptaanyya sendiri, ataukah sebaliknya, manusia sama sekali tidak memiliki dan tidak memiliki ikhtiar apa-apa karena semuanya telah ditentukan oleh qadha dan qadhar tuhan.
1.      Asal-usul aliran jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Menurut al-syakhrastani[1] bahwa jabariyah berarti meghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah.  
Jabariyah sudah mempengaruhi bangasa arab sebelum islam tersebar ke masyarakat Arab[2]. Kehidupan bangsa arab yang berada di gurun pasir yang terjal, panas, gersang dan tandus memberi pengaruh terhadap pola hidup mereka. Dengan suasana seperti ini membuat mereka tidak bisa merubah kehidupan mereka. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak berdaya mengahadapi sulitnya hidup di padang pasir. Pada akhirnya mereka hanya bergantung pada kehendak alam. Hal ini yang membuat mereka bersikap fatalistic.
Faham jabariah pertama kali diperkenalkan oleh al-Ja’id ibn Dirham di Damaskus yang kemudian disiarkan oleh muridnya yaitu Jahm ibnu Sawfan dari Khurasan. Menurutnya, manusia adalah benar-benar tidak memiliki kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatannya sendiri, melainkan karena terpaksa (majbur) dan tidak ada kekuasaan ataupun pilihan baginya. Perbuatan manusia sudah ditentukan oleh qadha dan qadar Tuhan. Sehingga manusia dalam faham ini tidak memiliki kebebasan sendiri tetapi mutlak kehendak Tuhan. Aliran Jabariyah ini menganut faham bahwa manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi perbuatannya karena terpaksa.
Al Baghdadi menuturkan di dalam al-farqu bainal firaq, tentang pendapat Jahm ini bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta yang mematikan dan menghidupkan. Sifat-sifat yang demikian adalah khusus bagi Tuhan saja. Tidak ada tindakan dan perbuatan bagi seseorang kecuali perbuatan dan tindakan Allah SWT.[3]
Latar belakang lahirnya aliran Jabariyah juga dibedakan kedalam dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari pemahaman ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, terlalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.[4]
2.      Tokoh-tokoh aliran Jabariyah
a.       Jahm bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di kuffah. Dia seorang da’i yang fasih dan lincah(orator), ia menjabat sebagai sekertaris Harits bin Surais, seorang Mawali yang menentang pemerintah bani Umayyah di Khurasan. Kemudian dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan dibunuh tahun 131H.[5]
b.      Ja’ad bin Dirham
Al-Ja’ad adalah seorang Maulana bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan dalam linkungan orang kristen yang senang membicarakan Teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintahan bani Umayyah, tetapi setelah nampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayyah menolaknya. Sehingga ia lari ke Kuffah dan bertemu dengan Jahm. Kemudian Al-Ja’ad mengajarkan pemikirannya ke Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
c.       Al-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain ibnu Muhammad al-Najjar, dia wafat tahun 230H.
d.      Adh-Dahirar
Nama lengkapnya adalah Dirar bin Amr.
3.      Ajaran penting Aliran Jabariyah
Ajaran penting aliran ini adalah manusia sangat lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Segala akibat baik maupun buruk yang diterima manusia dalam perjalanan hidupnya merupakan ketentuan Allah.
Menurut Syahrastani[6] aliran jabariyah dalam menganalisa perbuatan manusia terdapat dua pandangan yaitu :
a.       Pandangan ekstrim yang disebut al-jabariyah al-khalish, yaitu jabariyah yang tidak menetapkan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun pada manusia.
b.      Pandangan moderat yang diberi istilah al-jabariyah al-mutawasithah, yaitu jabariyah yang menetapkan adanya qudrat pada manusia, tetapi qudrat tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan. Pandangan ini dipelopori oleh Husain Ibn Muhammad Al Hajjar dan Dirar Ibn ‘Amr.
Faham jabariyah yang dikembangkan oleh Najjar dan Dirar sudah tidak lagi menggambarkan manusia sebagai wayang, namun terlihat bahwa diantara manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu perbuatan dan manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.
4.      Ayat-ayat yang menjadi dasar paham Jabbariyah
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menimbulkan paham Jabariyah diantaranya:
Dalam surat Ash-Shaffat ayat 96, ditegaskan:
والله خلقكم وما تعملون
“Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.
Dalam surat Al-An’am ayat 111, dinyatakan:
ماكانواليؤمنواالاأن يشاءالله
“Mereka menghendaki tidak akan beriman, sekiranya Allah tidak menghendaki.”
Dalam surat Al-Anfal ayat 117, dijelaskan:
ومارميت اذرميت ولكن الله
“Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar(musuh), tetapi Allah lah yang melempar (mereka).”
Dalam surat Al-Insan ayat 30, dinyatakan:
وماتشاءون الا أن يشاءالله ان الله كان عليما حكيما
“Bukanlah kaum yang menghendaki, tetapi Allah yang menghendaki.”
 Dalam surat Al-Hadid ayat 22:
ما أصا ب منمصيبةفى الأرض ولافى انفسكم الا فى كتب من قبل أن نبرأها ان ذلك علىى الله يسير
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
B.     Aliran qadariyah
 Qadariyah berasal dari kata qadara yang berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan dalam aliran ilmu kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatannya. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat bebuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia memiliki qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[7]
Menurut Ahmad Amin, sebutan Qadariyah diberikan  kepada pengikut para paham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.[8] Hadits tersebut berbunyi:
الْقَدَرِيّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ الْاُمَّةِ
Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.[9]
Para pengikut paham ini sebenarnya tidak suka disebut kaum Qadariyah. Mereka menamai dirinya kaum Ahli Adil wat Tauhid.
1.      Asal-usul Aliran Qadariyah  
Aliran ini pertama kali dilontarkan oleh Ma’bad al-jauhani, disebarluaskan oleh Ghailan al-Dimasyqi. Ma’bad adalah seorang tabi’in yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghilan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Utsman bin Affan. Menurut Ghailan[10] manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, dan manusia sendiri yang berkehendak dan kemudian melakukan tindakan dengan kekuasaannya di dalam kebaikan.  Semua perbuatan baik atau buruk atas kemauan bebas dan kemampuan dari manusia itu sendiri. Faham aliran qadariyah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku serta kehendaknya dan nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Menurut Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarah Al- Uyun bahwa yang pertama kali memunculkan paham qodariyah adalah seorang irak yang semula beragama kristen kemudian masuk islam lalu kristen lagi. Dari orang inilah ma’bad dan ghilan  mengambil paham ini. Berbeda dengan Abu Zahra’, beliau mengunkapkan bahwa pada akhir pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan masa pemerintahan Bani Umayyah, kaum muslimin membincangkan tentang qada dan qadar. Sebagian mereka menganut paham jabbariyah dan Qadariyah. Mereka memahaminya secara berlebihan sehingga ada yang menafikan kehendak manusia dan juga yang menganggap bahwa manusia bebas berkehendak atas apa yang diperbuatnya. Dari sinilah paham Qadariyah muncul.
2.      Tokoh-tokoh aliran qodariyah 
Tokoh utama Qodariyah adalah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasqy. Kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qada dan qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad berguru pada Hasan Al-Basri. Jadi Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi. Sedangkan Ghailan, semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya.[11]
Kedua tokoh Qadariyah tersebut mati terbunuh. Ma’bad al-juhani terbunuh dalam pertempuran melawan Halaj tahun 80H, ia terlibat dalam dunia politik dengan pendukung gubernur Sijistan, Abdurrahman Asy- Sya’ad, menentang kekusaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan Ad-Dimasyqi dihukum mati pada masa pemerintahan Hisym bin Abdul Malik (105-125 H / 724-743M),Kholifah dinasti Umayyah ke-10. Dia dihukum mati karena terus menyebar luaskan paham qodariyah yang dinilai membahayakan pemerintah.
3.      Dasar pikiran ajaran aliran qadariyah
Menurut Ahmad Amin pokok ajaran Qadariyah adalah :
a.       Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
b.      Alloh SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang menciptakakan segala amal perbuatannya. Oleh karena itu manusia akan memperoleh balasan baik atas segala amal baiknya, dan menerima balasan yang buruk atas segala perbuatan yang salah dan dosa. Dari sini menurut mereka Alloh dapat dikatakan Adil.
c.       Kaum qadariyah mengatakan  bahwa Alloh itu Esa atau satu dalam arti bahwa Alloh tidak memiliki sifat-sifat azaly, seperti ilmu, qadrah, hayat, mendengar dan melihat yang bukan denagn dzat-Nya sendiri.
d.      Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahuai mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Alloh tidak menurunkan Agama. Sebab, katanya segala sesuatu memiliki sifat yang menyebabkan baik dan buruk.[12]
4.      Ayat-ayat yang menjadi dasar paham Qadariyah
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Doktrin doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin lain. Banyak ayat-ayat al-qur’an  yang dapat mendukung pendapat ini.
 Misalnya dalam surat Al-Kahf ayat 29.

وقل الحق من ربكم فمن شاءفليؤمن ومن شاءفليكفر..(الكهف29)
Artinya:
Dan katakanlah (Muhammad), kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. (Q.S.Al-Kahf 29)
Dalam surat ali Imron ayat 165:
اولما اصابتكم مصيبة قد اصبتم مثليها قلتم انى هذا قل هو من عند انفسكم (ال عمرا:165)
Artinya:
Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada perang uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada perang badar) kamu berkata, Dari mana datangnya (kekalahan)ini? Itu dari kesalahan dirimu sendiri”
Dalam surah Ar-Rad ayat 11:
ان الله لا يغيرما بقوم حتى يغيرواما با نفسهم .. (الرعدك11)
Artinya:
.. sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri...”
Dalam surat An-Nisa ayat 111:
ومن يكسب اثما فا نما يكسبه على نفسه (النساء:111)
Artinya:
“Dan barang siapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesulitan)dirinya sendiri.”


[1] Mulyono dan basori, studi ilmu tauhid/kalam,( malang: uin-maliki press, 2010), hlm.139 dan 140.
[2] Ubaidillah . ilmu kalam. (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2017).
[3] HM. Laily Mansur, pemikiran kalam islam, (Jakarta :pustaka perdana & LSIK, 1994), hlm.37
[4] Sidik, “refleksi paham jabariyah dan qodariyah”, reflection jabariyah qodariyah, vol.12 no.2, desember 2016, 279
[5] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar,Ilmu Kalam,(Bandung:Pustaka Setia,2016),hal.85
[6] Mulyono dan basori, studi ilmu tauhid/kalam,( malang: uin-maliki press, 2010), hlm.139 dan 142.

[7]  Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur,Dirosatul Firaq,(Solo: Pustaka Arafah, 2010)hlm.109
[8] Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur,Dirosatul Firaq,(Solo: Pustaka Arafah, 2010)hlm.110
[9] Hadits ini terdapat dalam sunan Abu Dawud, ” Kitab As-Sunnah” bab 16, Fi Al-Qadr dan dalam Musnad Imam Ahmad Ibnu Hambal, juz II
[10] Mulyono dan basori, studi ilmu tauhid/kalam,( malang: uin-maliki press, 2010), hlm.139 dan 144.

[11] Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur,Dirosatul Firaq,(Solo: Pustaka Arafah, 2010).hlm.111
[12] Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur,Dirosatul Firaq,(Solo: Pustaka Arafah, 2010)hlm.112

No comments:

Post a Comment

Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia

 Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia Oleh : Sukron Ibnu Rofiq Banyak kasus pelanggaran di Indonesia yang mencermink...