PEMBAHASAN
Pendidikan yang berlangsung di masyarakat tidak
terlepas dari peran sosial. Di dalam lingkungan masyarakat sosial terdapat
kelompok-kelompok yang mempengaruhi proses pendidikan. Selain kelompok-kelompok
sosial masyarakat juga ada kelompok yang tercipta di lingkungan sekolah, bahkan
di dalam kelas pun ada kelompok-kelompok belajar. Penjelasan ini akan
dilanjutkan pada materi di bawah ini.
A. Pengertian pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah
tuntunan di dalam hidup tumbuhnnya anak-anak. Maksud dari pengertian tersebut
adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya.[1]
Menurut UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 , pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang di perlukan dirinya
masyarakat bangsa dan negara.
Menurut
G. Terry Page pendidikan adalah proses pengembangan kemampuan dan prilaku
manusia secara keseluruhan.[2]
B. Pengertian Kelompok
Secara sosiologis kelompok mempunyai
pengertian sebagai suatu kumpulan dari orang-orang yang mempunyai hubungan dan berinteraksi
yang dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama.[3]
Menurut Abdul Rahmat Pergaulan
manusia pada awalnya dimulai dari kelompok kecil dalam masyarakat, yang
kemudian disebut keluarga. Dari keluarga inilah kemudian tercipta pengalaman-pengalaman
(social experiences) yang nantinya mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan kepribadian seseorang.[4]
Menurut Joseph S. Roucek dalam Abullah Idi,
mengatakan bahwa Suatu kelompok meliputi dua atau lebih manusia yang diantara
mereka terdapat beberapa pola interasi yang dapat dipahami oleh para anggotanya
atau orang lain secara keseluruhan.
Menurut Mayor
Polak mengatakan bahwa, kelompok sosial adalah suatu group,
yaitu sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain dan hubungan itu
bersifat sebagai sebuah struktur.[5]
C. Struktur Hubungan Antar Kelompok
1.
Struktur
hubungan antar kelompok di sekolah
Murid-murid di sekolah sering menunjukkan perbedaan asal kesukuan,
agama, adat istiadat, dan kedudukan sosial. Berdasarkan perbedaan-perbedaan itu
mungkin timbul golongan minoritas di kalangan murid-murid, yang tersembunyi
ataupun yang nyata-nyata. kelompok dalam sekolah dapat dikategorikan berdasarkan:
a.
Status
sosial orang tua murid
Status sosial orang tua sangat mempengaruhi
pergaulan siswa tersebut. Tidak dapat dipungkiri, seorang siswa yang merupakan
anak pejabat akan cenderung bergaul dengan teman yang se-level. Hal ini dapat
terjadi di dalam maupun di hingga pergaulan di luar sekolah. Anak pejabat
enggan bergaul dengan anak buruh. Jikalau ada jumlahnya pun sangat
sedikit. Kesamaan hobi mendorong timbulnya rasa kebersamaan diantara mereka. Anak-anak yang
suka olahraga sepak bola cenderung intensif bergaul dengan teman se klub
mereka. Biasanya di sekolah terdapat beberapa jenis kegiatan ekstra kurikuler
seperti KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), Rohis, kelompok seni, pramuka, PMR, dan
keolahragaan. Masing-masing membentuk ikatan emosianal diantara anggotanya.
b.
Intelektualitas
Ada juga peluang terjadi
kelompok-kelompok berdasarkan tingkatan intelektualitas mereka, meskipun ini tidak
dominan. Orang pintar karena biasanya suka membaca lebih sering berada di
pepustakaan dari pada di kantin. Kehidupan mereka di sekolah benar-benar padat
dengan kegiatan akademis. Sedangkan orang yang tingkat intelektualnya lebih
rendah cenderung kurang belajar dan lebih mementingkan menjalin hubungan sosial
dengan teman-temannya, bermain bersama, bercerita, dan lain-lain
c.
Jenjang
kelas
Perbedaan jenjang kelas ini merupakan
faktor dominan yang sering terjadi di sekolah. Biasanya anak kelas tiga yang
merasa lebih tua sering berbuat sesuka hati kepada adik kelasnya. Anak-anak
kelas satu karena takut dengan seniornya lebih nyaman bergaul dengan
teman-teman satu tingkatnya. Hal ini menyebabkan pergaulan mereka menjadi
terkotak-kotak dan kurang harmonis. Ini juga yang menyebabkan kesenjangan
sosial dan kenakalan. Terkadang anak kelas tiga atau pun yang merasa berkuasa
di sekolahannya berbuat sewenang-wenang terhadap adik kelas dan anak pendiam,
seperti: usil, pemalakan, atau kekerasan fisik.
d.
Agama
Ada peluang terbentuknya kelompok karena
persamaan agama. Kegiatan perayaan dan peribadatan agama yang mereka anut
sering mempertemukan mereka dalam kebersamaan dan kepemilikan. Namun demikian
ini bukanlah faktor dominan di kalangan anak sekolahan. Kesamaan asal daerah
juga memberikan peluang bagi terbentuknya kelompok di sekolah, namun bukan juga
merupakan faktor dominan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar siswa di sekolah
tersebut berasal dari daerah yang sama. Berbeda dengan kehidupan kampus yang
nuansa kedaerahannya sangat kental, di sekolah biasanya murid cenderung lebih
menaruh minat pada mood dan hobi ketimbang regionalitas.[6]
2.
Struktur Hubungan Anatar Kelompok Sosial
Dalam
masyarakat Islam kelompok sosial bisa terjadi. Hal ini bisa di lihat dari berbagai kelompok yang terlahir atau
muncul di tengah-tengah masyarakat mencerminkan kebudayaan islam antara lain:
a.
Kelompok
kekerabatan
Hal ini dalam masyarakat islam sesama umat islam adalah saudara.
Jadi, ada semacam perasaan senasib, sepenanggungan yaitu atas dasar agama.
Selain itu memiliki kegiatan yang sama dalam ke agamaan, seperti halnya sholat
berjamaah atau pun tradisi-tradisi yang biasa di lakukan oleh umat islam.
Mereka sering bertemu dan saling mengenal dan menumbuhkan rasa kekerabatan.
b.
Kelompok
utama dan sekunder
Kelompok utama di
tandai dengan saling mengenal antar anggota serta bekerja sama yang bersikap
pribadi. Kelompok ini biasanya terdiri dari orang-orang yang sudah saling
mengenal sehingga lebih terbuka dalam bekerja sama terhadap ssesama anggota
kelompok, contohnya kelompok sahabat, kelompok tugas, kelompok belajar dan
lain-lain. Sedangkan kelompok sekunder bersifat temporer, hanya sementara dalam
perkumpulannya contoh kelompok sesama guru pendidikan agama islam sekabupaten.[7]
Contoh lain kelompok penonton sepak bola. Mereka berkelompok dan bareng-pareng
hanya ketika tim yang mereka sukai sedang bertanding. Mereka tidak saling
mengenal dan tidak saling mengetahui.
c.
Kelompok
formal
Di ciptakan secara
sengaja dan di dasrkan atas aturan-aturan yang tegas dan memiliki tujuan yang
jelas. Contoh kelompok lembaga
pendidikan, lembaga perekonomian, lembaga politik, dan lembaga yang lain.
d.
Kelompok
informal
Terbentuk karena
kuantitas pertemuan yang cukup tinggi dan berulang-ulang. Contoh kelompok
pengajian ibu-ibu.[8]
Contoh lain adalah kelompok orang-orang yang pergi ke pasar. Karena kebiasaan
kulak di pasar setiap hari sehingga mereka sering bertemu ketika belanja ke
pasar dan membentuk kelompok.
3.
Prasangka
dalam Hubungan Antar Kelompok
Prasangka merupakan suatu istilah yang mempunyai berbagai makna.
Namun dalam kaitanya dengan hubungan antar kelompok istilah ini mengacu pada
sikap bermusuhan yang ditunjukan terhadap suatu kelompok tertentu atas
dasar dugaan bahwa kelompok tersebut
mempunyai ciri yang tidak menyenangkan.[9]
Menurut jhon E. Farley prasangka di bagi menjadi tiga kategori
antara lain:
a.
Prasangka
kognitif yaitu merujuk pada apa yang
dianggap benar.
b.
Prasangka
afektif yaitu merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
c.
Prasangka
konatif yaitu merujuk pada bagaimana kecerundungan seseorang dalam bertindak.[10]
4.
Pendidikan
dan Hubungan Antar Kelompok
Menurut penelitian, maka semakin tinggi pendidikan seseorang
makin kurang prasangkanya terhadap golongan lain, makin toleran sikapnya
terhadap golongan minoritas. Mereka yang berpendidikan universitas ternyata
menunjukkan sikap yang toleran. Namun, ada tidaknya prasangka tidak semata-mata
ditentukan oleh pendidikan saja. Pendidikan dapat merupakan faktor yang
menentukan kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman hidup yang turut
menentukan prasangka. Ada kemungkinan mengurangi, tetapi dapat pula memperkuat
prasangka.[11]
D.
Cara Mengurangi Prasangka Sosial
Cara mengurangi
prasangka sosial terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi
dan mencegah timbulnya prasangka, antara lain :
1.
Melakukan
kontak langsung. Bertanya yang sebenarnya terjadi dengan apa yang
diprasangkakan.
2.
Mengajarkan
pada anak untuk tidak membenci. Pengajaran ini sangat penting diajarkan sejak
dini agar tertanam sifat yang suka memaafkan, suka berpikir positif terhadap
orang lain.
3.
Mengoptimalkan
peran orang tua, guru, individu dewasa yang di anggap penting oleh anak dan
media massa untuk membentuk sikap menyukai
atau tidak menyukai melalui contoh perilaku yang di tunjukkan (reinforcement
positive).
4.
Menyadarkan
individu untuk belajar membuat perbedaan tentang individu lain, yaitu belajar
mengenal dan memahami individu lain berdasarkan karakteristiknya yang unik,
tidak hanya berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu .
Menurut Worchel dan kawan-kawan (2000), upaya
tersebut akan lebih efektif jika di barengi dengan kebijakan pemerintah melalui
penerapan hukum yang menjunjung tinggi adanya persamaan hak dan pemberian
sanksi pada tindakan diskriminasi baik berdasarkan ras, suku, agama, jenis
kelamain, usia, dan factor-faktor lainnya.
Alasan-alasan yang mendasari hukum dapat mengurangi
prasangka adalah:
1.
Hukum
membuat diskriminasi menjadi perbuatan illegal, sehingga akan mengurangi
tindakan yang memojokkan pada kehidupan anggota-anggota minoritas.
2.
Hukum
membantu untuk menetapkan atau memantapkan norma-norma dalam masyarakat, yaitu
hukum berperan dalam mendefinisikan jenis-jenis perilaku yang dapat di terima
atau tidak dapat di terima dalam masyarakat.
3.
Hukum
mendorong konformitas[12] terhadap perilaku yang nondiskriminatif, yang
mungkin pada akhirnya akan menghasilkan internalisasi sikap tidak berprasangka
melalui proses persepsi diri atau pengurangan donasi.
[1] Rohimin dkk. Hakikat
Pendidikan. Jakarta: jurnal hakikat
pendidikan .
[2] Zaitun. Sosiologi Pendidikan, Pekan baru, 2016:kreasi edukasi. Hlm. 43
[3] Abdul Syani, Sosiologi
(Skematika, teori dan terapan) hlm. 98
[5] Abullah Idi, Sosiologi Pendidikan : Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2013), hlm. 117.
[6] S. Nasution, sosiologi
pendidikan (jakarta, bumi aksara,2010) hlm 42
[7] Ki hajar dewantara, detik detik
ujian nasional sosiologi, klaten, intan perwira, 2011. Hlm 20-21
[8] Khaeriyah, Menggagas Sosiologi
Pendidikan, 2012 Yogyakarta:teras. Hlm 49-50
[9] Jurnal, thiara soerya,pendidikan
dan hubungan antar kelompok, di akses pada 24 09 2018 pukul 21:35
[10] Kumanto
sunarto, pengantar sosiologi, jakarta, lembaga penerbit fakultas ekonomi universitas
indonesia, 2004. Hlm 142
No comments:
Post a Comment