Friday, February 28, 2020

Makalah Ruang Lingkup Hukum Keluarga Islam


BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Keluarga
Ada sedikit perbedaan penyebutan dikalangan sarjana hukum di Indonesia tentang istilah hukum keluarga. Sebagian ahli hukum, antara lain Prof.Subekti (alm), menggunakan istilah hukum keluarga. Sementara sebagian sarjana hukum yang lain, diantaranya Prof. Hazairin (1906-1993 M) menggunakan istilah hukum kekeluargaan. Perbedaan istilah hukum semacam ini di Indonesia merupakan hal biasa. Sebab, seperti diingatkan Prof . Satjito Rahardjo, “pada tingkat perkembangan ilmu hukum di Indonesia sekarang ini belum tercapai tingkat kemapanan penggunaan istilah secara baik, sehingga masing” penulis masih bisa menawarkan pilihannya masing-masing”.[1]
Secara sederhana, yang dimaksud dengan hukum keluarga/hukum kekeluargaan ialah hukum atau undang-undang yang mengatur perihal hubungan hukum internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan dengan ihwal kekeluargaan. Menurut Prof. Subekti, “Hukum Keluarga ialah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekeyaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak , perwalian dan curatele.
Dalam literature hukum islam (fiqh), hukum keluarga biasa dikenal dengan sebutan al-ahwal as-syakhsiyah. Selain sebutan al-ahwal as2 Mummad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim..,hlm13. 3 syakhsiyah , hukum keluarga dalam literature fiqh (hukum islam) juga umum disebut dengan istilah huququl usrah atau haquq al- ailah (hak-hak keluarga), ahkamul usrah (hukum-hukum keluarga) dan qanun alusrah (undang-undang keluarga). Dalam buku-buku berbahasa Inggris yang membahas tentang hukum Islam, hukum keluarga biasa diterjemahkan dengan istilah family law, sementara ahkam alusrah / al-ahwal as-syakhsiyah umum diterjemahkan dengan Islamic family law atau muslim family law.
 Prof. Wahbah Azuhaili , guru besar Universitas Islam Damaskus memformulasikan al-ahwal asyakhsiyah (hukum keluarga) dengan hukumhukum yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya hingga di masa-masa akhir atau berakhirnya (keluarga) berupa nikah, talak, nasab, nafkah dan kewarisan. Sementara Ahmad AlKhumayini , mingingatkan kita bahwa hukum keluarga adalah seperangkat undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota keluarga dalam konteksnya yang khusus dalam hubungan h ukum keluarga.
 Dari berbagai definisi tentang hukum keluarga yang telah dikemukakan di atas dapatlah diformulasikan bahwa hukum keluarga ialah hukum yang mengatur hubungan internal anggota keluarga dalam satu keluarga (rumah tangga) berkenaan dengan masalah-masalah tertentu yakni : pernikahan , nasab, nafkah, dan pemeliharaan serta perwalian dan kewarisan.
A.    Asas-asas Hukum Keluarga
Di dalam hukum keluarga terdapat beberapa asas yang tercermin dari isi pasal-pasal yang tercantum di dalam Kitab undang-undang hukum perdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. asas asas  tersebut ialah sebagai berikut:
1.      Asas Monogami
Artinya asas monogami terdapat dalam KUHPer Pasal 27 dan UU Perkawinan Pasal 3. Asas monogami merupakan asas yang tidak mutlak di  dalam UU Perkawinan. Monogami adalah perkawinan dimana seorang suami hanya boleh memiliki satu orang istri. di dalam UU perkawinan diatur bahwa seorang suami dapat memiliki istri lebih dari satu orang, namun tidak sebaliknya. Apabila seorang suami ingin melakukan perkawinan  untuk yang kedua kalinya, ia harus meminta persetujuan dari istrinya yang pertama; memberikan kepastian bahwa ia mampu menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anaknya; dan menjamin akan berlaku adil terhadap mereka. Setelah itu ia dapat mengajukan permohonan ke pengadilan di wilayah tempat tinggalnya, untuk kemudian ditetapkan oleh hakim apakah diterima atau tidaknya permohonan tersebut. Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 3 disebutkan:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْا
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (Q.S. An-Nisa: 3)
2.      Asas Poposional
Artinya suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat. (pasal 31 UU No 1 tahun 1974).
3.      Asas Konsensual
            Artinya asas ini terdapat dalam KUHPer Pasal 28 dan UU perkawinan Pasal 6 ayat (1). Asas Konsensual merupakan asas dimana para pihak yang terikat perjanjian mengikatkan diri secara sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun. Asas konsensual ini juga diterapkan pada pasangan calon pengantin. Calon pengantin hendaknya melakukan perkawinan atas persetujuan mereka berdua.[2]

Ruang Lingkup Hukum Keluarga Islam


Ruang lingkup memiliki arti yaitu batasan, dimana dalam konteks ini ruang lingkup hukum keluarga islam adalah batasan-batasan pengkajian terkait hukum keluarga islam. Mughniyah, Al Imam Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya yang berjudul (al-Ahwal as-Syakhshiyyah) mengedepankan ruang lingkup hukum keluarga Islam dalam lingkup yang sangat terbatas yakni meliputi az-zawaj dalam konteksnya yang sangat luas termasuk talak iddah dan lain-lain penyusuan dan pemeliharaan anak(radha’ah dan hadhanah), serta Pengampuan dan perwalian (al-hajru wal walayah) tanpa menyertakan hukum kewarisan dan wasiat apalagi hukum wakaf. Ada pula buku yang mewakili hukum keluarga Islam dalam teks-teks Arab yang ditulis dalam bahasa Inggris yaitu “The status of women under islamic law and under modern islamic legislation”(kedudukan perempuan di bawah hukum islam dan legislasi islam moderen).6 Di dalamnya membahas tentang marriage ( perkawinan), dower (maskawin), maintenance(biaya hidup/nafkah) dissolution of marringe (putusnya perkawinan), iddat (iddah), parentige ( asalu-usul keturunan),fosterage and custody (perwalian dan pengawasan). Jadi dalam buku tersebut tidak mengenai perihal hukum waris. Akan tetapi di dalam semua buku hukum keluarga Islam tidak ada satupun yang tidak membahas tentang hukum perkawinan.
Menurut Mustafa Ahmad Az-zarqa ruang lingkup Al ahwal as syakhsiyah pada dasarnya meliputi tiga macam subsistem hukum berikut
1.        Perkawinan (al-munakahat) dan hal-hal yang bertalian erat dengannya;


6 Jamal J.A Nasir, The status of women under islamic law and under modern islamic legislation, (Boston: Brill,2009)




2.        Perwalian dan wasiat (al-waliyyah wa al-washaya)
3.        Kewarisan (al-mawaris)

Dalam hal perkawinan terdapat juga beberapa perbedaan fundamental antara hukum Islam dengan sistem hukum yang lainnya seperti halnya dengan hukum perdata Barat. Hukum keluarga Islam memandang perkawinan sebagai salah satu perbuatan ibadah Di samping sebagai perbuatan muamalah perdata. Sedangkan hukum perdata barat memandang perkawinan semata-mata hanya hubungan keperdataan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ritual keagamaan. Selain itu dalam hukum Islam memandang mas kawin mahar sebagai salah satu persyaratan sah nikah , sementara sistem hukum yang lainnya tidak mengenal atau sekurang-kurangnya tidak mengharuskan adanya mahar dalam suatu perkawinan demikian pula dengan keberadaan wali nikah. Perbedaan yang paling mendasar terutama terletak pada sumbernya hukum Islam bersumber dari wahyu Allah SWT sedangkan hukum yang




lainnya semata-mata hanya berdasarkan oleh pikir atau rekayasa kebudayaan manusia.7
Dalam ruang lingkup hukum keluarga, ketiga subsistem (perkawinan, perwalian, dan kewarisan) yang tergolong atau tepatnya tergabung ke dalam lingkup hukum keluarga Islam, satu sama lain memiliki korelasi(hubungan timbal balik) yang sangat erat. Ketika subsistem hukum di atas satu sama lain memang bisa dibedakan terutama dari segi objek hukum yang dipelajarinya, namun dalam praktik hukum tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Dalam hal kewarisan misalnya tidak mungkin bisa dipaksakan Dari perkawinan mengikat di antara faktor yang menyebabkan terjadinya hak waris mewarisi adalah disebabkan hubungan perkawinan(mushaharah) disamping karena nasab(hubungan darah).

B.     Hak Dan Kewajiban Dalam Hukum Keluarga
Sebagai suatu hubungan hukum perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami istri. Yang dimaksud “hak” ialah sesuatu yang merupakan miliki atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang timbul karena perkawinannya. Sedangkan ”kewajiban” ialah sesuatu yang harus dilakukan atau diadakan oleh suami atau istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.
Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibedakan menjadi tiga mecam yaitu:
a)      Hak dan kewajiban antara suami dan istri
b)      Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya
c)      Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya
Hak dan kewajiban antara suami istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
1)      Hak dan kewajiban antara suami istri
a.       Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat
b.      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
c.       Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam UU perkawinan pada dasarnya mengandung persamaan dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum islam
2)      Adapun kewajiban antara anak dan orang tua diatur dalam pasal 45 sampai 49 UU No 1 Tahun 1974.
a)      Anak wajib memelihara dan membantu orang tua ketika nanti sudah besar
b)      Anak wajib menghormati orang tua dan menaatui kehendak mereka yang baik
c)      Anak yang belum dewasa belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan orang tua
Hak dan kewajiban yang ke tiga dalam keluarga yakni Alimentasi. Antara orang tua  dengan anak terdapat kewajiban timbal balik antara orang tua dengan anak seperti yang ditentukan dalam pasal 45 dan 46 UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal KUH Per. Orang tua dibebani kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum dewasa sesuai dengan kemampuan masing-masing.[3]



[1] Mummad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim,(Jakarta:PT.Rajagrafido Persada,2005),hlm. 13.
[2] Jurnal raden fatah vol 3-6
[3] Jurnal ar raniry vol 7-9

No comments:

Post a Comment

Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia

 Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia Oleh : Sukron Ibnu Rofiq Banyak kasus pelanggaran di Indonesia yang mencermink...