BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Keluarga
Ada sedikit perbedaan penyebutan dikalangan sarjana hukum di
Indonesia tentang istilah hukum keluarga. Sebagian ahli hukum, antara lain
Prof.Subekti (alm), menggunakan istilah hukum keluarga. Sementara sebagian
sarjana hukum yang lain, diantaranya Prof. Hazairin (1906-1993 M) menggunakan
istilah hukum kekeluargaan. Perbedaan istilah hukum semacam ini di Indonesia
merupakan hal biasa. Sebab, seperti diingatkan Prof . Satjito Rahardjo, “pada
tingkat perkembangan ilmu hukum di Indonesia sekarang ini belum tercapai
tingkat kemapanan penggunaan istilah secara baik, sehingga masing” penulis
masih bisa menawarkan pilihannya masing-masing”.[1]
Secara sederhana, yang dimaksud dengan hukum keluarga/hukum
kekeluargaan ialah hukum atau undang-undang yang mengatur perihal hubungan
hukum internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan dengan
ihwal kekeluargaan. Menurut Prof. Subekti, “Hukum Keluarga ialah hukum yang
mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekeyaan
antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak , perwalian dan
curatele.
Dalam literature hukum islam (fiqh), hukum keluarga biasa dikenal
dengan sebutan al-ahwal as-syakhsiyah. Selain sebutan al-ahwal as2 Mummad Amin
Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim..,hlm13. 3 syakhsiyah , hukum
keluarga dalam literature fiqh (hukum islam) juga umum disebut dengan istilah
huququl usrah atau haquq al- ailah (hak-hak keluarga), ahkamul usrah
(hukum-hukum keluarga) dan qanun alusrah (undang-undang keluarga). Dalam
buku-buku berbahasa Inggris yang membahas tentang hukum Islam, hukum keluarga
biasa diterjemahkan dengan istilah family law, sementara ahkam alusrah /
al-ahwal as-syakhsiyah umum diterjemahkan dengan Islamic family law atau muslim
family law.
Prof. Wahbah Azuhaili , guru
besar Universitas Islam Damaskus memformulasikan al-ahwal asyakhsiyah (hukum
keluarga) dengan hukumhukum yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa
awal pembentukannya hingga di masa-masa akhir atau berakhirnya (keluarga)
berupa nikah, talak, nasab, nafkah dan kewarisan. Sementara Ahmad AlKhumayini ,
mingingatkan kita bahwa hukum keluarga adalah seperangkat undang-undang yang
mengatur hubungan personal anggota keluarga dalam konteksnya yang khusus dalam
hubungan h ukum keluarga.
Dari berbagai definisi
tentang hukum keluarga yang telah dikemukakan di atas dapatlah diformulasikan
bahwa hukum keluarga ialah hukum yang mengatur hubungan internal anggota
keluarga dalam satu keluarga (rumah tangga) berkenaan dengan masalah-masalah
tertentu yakni : pernikahan , nasab, nafkah, dan pemeliharaan serta perwalian
dan kewarisan.
A. Asas-asas Hukum
Keluarga
Di dalam hukum
keluarga terdapat beberapa asas yang tercermin dari isi pasal-pasal yang
tercantum di dalam Kitab undang-undang hukum perdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan. asas asas tersebut ialah sebagai berikut:
1. Asas Monogami
Artinya
asas monogami terdapat dalam KUHPer Pasal 27 dan UU Perkawinan Pasal 3. Asas monogami
merupakan asas yang tidak mutlak di
dalam UU Perkawinan. Monogami adalah perkawinan dimana seorang suami
hanya boleh memiliki satu orang istri. di dalam UU perkawinan diatur bahwa
seorang suami dapat memiliki istri lebih dari satu orang, namun tidak
sebaliknya. Apabila seorang suami ingin melakukan perkawinan untuk yang kedua kalinya, ia harus meminta
persetujuan dari istrinya yang pertama; memberikan kepastian bahwa ia mampu
menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anaknya; dan menjamin akan berlaku adil
terhadap mereka. Setelah itu ia dapat mengajukan permohonan ke pengadilan di
wilayah tempat tinggalnya, untuk kemudian ditetapkan oleh hakim apakah diterima
atau tidaknya permohonan tersebut. Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 3
disebutkan:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا
مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ
اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ
اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْا
Dan
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang
kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (Q.S. An-Nisa: 3)
2.
Asas Poposional
Artinya
suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak kewajiban
suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat. (pasal 31
UU No 1 tahun 1974).
3.
Asas Konsensual
Artinya
asas ini terdapat dalam KUHPer
Pasal 28 dan UU perkawinan Pasal 6 ayat (1). Asas Konsensual merupakan asas
dimana para pihak yang terikat perjanjian mengikatkan diri secara sukarela
tanpa paksaan dari pihak manapun. Asas konsensual ini juga diterapkan pada pasangan
calon pengantin. Calon pengantin hendaknya melakukan perkawinan atas
persetujuan mereka berdua.[2]
Ruang Lingkup Hukum Keluarga Islam
Ruang lingkup memiliki arti yaitu batasan, dimana dalam konteks ini
ruang lingkup hukum keluarga islam adalah batasan-batasan pengkajian terkait
hukum keluarga islam. Mughniyah, Al Imam Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya
yang berjudul (al-Ahwal as-Syakhshiyyah)
mengedepankan ruang lingkup hukum keluarga Islam dalam lingkup yang sangat
terbatas yakni meliputi az-zawaj dalam
konteksnya yang sangat luas termasuk talak iddah dan lain-lain penyusuan dan
pemeliharaan anak(radha’ah dan hadhanah), serta Pengampuan dan
perwalian (al-hajru wal walayah)
tanpa menyertakan hukum kewarisan dan wasiat apalagi hukum wakaf. Ada pula buku
yang mewakili hukum keluarga Islam dalam teks-teks Arab yang ditulis dalam
bahasa Inggris yaitu “The status of women
under islamic law and under modern islamic legislation”(kedudukan perempuan di
bawah hukum islam dan legislasi islam moderen).6 Di dalamnya
membahas tentang marriage (
perkawinan), dower (maskawin), maintenance(biaya hidup/nafkah) dissolution of marringe (putusnya
perkawinan), iddat (iddah), parentige ( asalu-usul keturunan),fosterage and custody (perwalian dan
pengawasan). Jadi dalam buku tersebut tidak mengenai perihal hukum waris. Akan
tetapi di dalam semua buku hukum keluarga Islam tidak ada satupun yang tidak
membahas tentang hukum perkawinan.
Menurut Mustafa Ahmad Az-zarqa ruang lingkup Al
ahwal as syakhsiyah pada dasarnya meliputi tiga macam subsistem hukum berikut
1.
Perkawinan
(al-munakahat) dan hal-hal yang
bertalian erat dengannya;
![]() |
6 Jamal J.A Nasir, The status
of women under islamic law and under modern islamic legislation, (Boston:
Brill,2009)
2.
Perwalian
dan wasiat (al-waliyyah wa al-washaya)
3.
Kewarisan
(al-mawaris)
Dalam hal perkawinan terdapat juga beberapa
perbedaan fundamental antara hukum Islam dengan sistem hukum yang lainnya
seperti halnya dengan hukum perdata Barat. Hukum keluarga Islam memandang perkawinan
sebagai salah satu perbuatan ibadah Di samping sebagai perbuatan muamalah
perdata. Sedangkan hukum perdata barat memandang perkawinan semata-mata hanya
hubungan keperdataan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ritual keagamaan.
Selain itu dalam hukum Islam memandang mas kawin mahar sebagai salah satu
persyaratan sah nikah , sementara sistem hukum yang lainnya tidak mengenal atau
sekurang-kurangnya tidak mengharuskan adanya mahar dalam suatu perkawinan
demikian pula dengan keberadaan wali nikah. Perbedaan yang paling mendasar
terutama terletak pada sumbernya hukum Islam bersumber dari wahyu Allah SWT
sedangkan hukum yang
lainnya semata-mata hanya berdasarkan oleh
pikir atau rekayasa kebudayaan manusia.7
Dalam ruang lingkup hukum keluarga, ketiga
subsistem (perkawinan, perwalian, dan kewarisan) yang tergolong atau tepatnya
tergabung ke dalam lingkup hukum keluarga Islam, satu sama lain memiliki
korelasi(hubungan timbal balik) yang sangat erat. Ketika subsistem hukum di
atas satu sama lain memang bisa dibedakan terutama dari segi objek hukum yang
dipelajarinya, namun dalam praktik hukum tidak bisa dipisahkan antara yang satu
dengan yang lain. Dalam hal kewarisan misalnya tidak mungkin bisa dipaksakan
Dari perkawinan mengikat di antara faktor yang menyebabkan terjadinya hak waris
mewarisi adalah disebabkan hubungan perkawinan(mushaharah) disamping karena
nasab(hubungan darah).
B.
Hak Dan Kewajiban Dalam Hukum Keluarga
Sebagai
suatu hubungan hukum perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami istri. Yang
dimaksud “hak” ialah sesuatu yang merupakan miliki atau dapat dimiliki oleh
suami atau istri yang timbul karena perkawinannya. Sedangkan ”kewajiban” ialah
sesuatu yang harus dilakukan atau diadakan oleh suami atau istri untuk memenuhi
hak dari pihak lain.
Hak
dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibedakan menjadi tiga mecam yaitu:
a)
Hak dan kewajiban antara suami dan istri
b)
Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya
c)
Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya
Hak
dan kewajiban antara suami istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena
adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
1)
Hak dan kewajiban antara suami istri
a.
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat
b.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
c.
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Hak dan
kewajiban suami istri yang diatur dalam UU perkawinan pada dasarnya mengandung
persamaan dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum islam
2)
Adapun kewajiban antara anak dan orang tua diatur dalam pasal 45
sampai 49 UU No 1 Tahun 1974.
a)
Anak wajib memelihara dan membantu orang tua ketika nanti sudah
besar
b)
Anak wajib menghormati orang tua dan menaatui kehendak mereka yang
baik
c)
Anak yang belum dewasa belum pernah melangsungkan perkawinan, ada
dibawah kekuasaan orang tua
Hak dan
kewajiban yang ke tiga dalam keluarga yakni Alimentasi. Antara orang tua dengan anak terdapat kewajiban timbal balik
antara orang tua dengan anak seperti yang ditentukan dalam pasal 45 dan 46 UU
No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal KUH Per. Orang tua dibebani kewajiban untuk
memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum dewasa sesuai dengan kemampuan
masing-masing.[3]
[1] Mummad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia
Muslim,(Jakarta:PT.Rajagrafido Persada,2005),hlm. 13.
[2]
Jurnal raden fatah vol 3-6
[3] Jurnal ar raniry vol 7-9
No comments:
Post a Comment