Saturday, February 29, 2020

Makalah Jual Beli dan Pinjam Meminjam


PEMBAHASAN

A.  Pengertian Jual Beli
·                Jual beli berasal dari kata باع – يبيع – بيعا artinya tukar menukar sesuatu dengan sesuatu. Menurut istilah jual beli adalah suatu transaksi tukar menukar barang atau harta yang mengakibatkan pemindahan hak milik sesuai dengan syarat dan rukun tertentu.[1] Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan menurut pengertian fikih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang lain yang sebanding. Jual beli menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’ artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad).[2] Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik penjual.
·                Suatu ketika Rasulullah Muhammad Saw. ditanya oleh seorang sahabat tentang pekerjaan yang paling baik. Beliau menjawab, pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya sendiri dan jual beli yang dilakukan dengan baik.
·                Jual beli hendaknya dilakukan oleh pedagang yang mengerti ilmu fiqih. Hal ini untuk menghindari terjadinya penipuan dari ke dua belah pihak. Khalifah Umar bin Khattab, sangat memperhatikan jual beli yang terjadi di pasar. Beliau mengusir pedagang yang tidak memiliki pengetahuan ilmu fiqih karena takut jual beli yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum Islam.
·                Pada masa sekarang, cara melakukan jual beli mengalami perkembangan. Di pasar swalayan ataupun mall, para pembeli dapat memilih dan mengambil barang yang dibutuhkan tanpa berhadapan dengan penjual. Pernyataan penjual (ijab) diwujudkan dalam daftar harga barang atau label harga pada barang yang dijual sedangkan pernyataan pembeli (Qabul) berupa tindakan pembeli membayar barang-barang yang diambilnya.[3]
·                 
B. Hukum Jual Beli
·                Jual beli sudah ada sejak zaman dahulu, walaupun bentuknya berbeda. Jual beli  juga dibenarkan dan berlaku sejak zaman Rasulullah Saw. sampai sekarang. Jual beli mengalami perkembangan seiring pemikiran dan pemenuhan kebutuhan manusia. Macam-macam Jual beli yang diterapkan  di masyarakat zaman sekarang ini di antaranya adalah:
1.  Jual beli barter (tukar menukar barang dengan barang)
2.  Money changer (pertukaran mata uang)
3.  Jual beli kontan (langsung dibayar tunai)
4.  Jual beli dengan cara mengangsur (kredit)
5.  Jual beli dengan cara lelang (ditawarkan kepada masyarakat umum untuk mendapat harga tertinggi).
·                Berbagai macam jual beli tersebut harus dilakukan sesuai hukum jual beli dalam agama Islam. Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Allah Swt.  telah menghalalkan praktik jual beli sesuai ketentuan dan syari’at-Nya.[4]
Dalam Surah al-Baqarah ayat 275 Allah Swt. berfirman :
·             وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
·         Artinya : … Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba … (QS. Al-Baqarah [2]:275)
·                Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka antar penjual dan pembeli, bukan karena paksaan. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 29
·                يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ
·                Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu  dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa [4]:29)
·                 
Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. bersabda:

·                 ﹶ ﺍﻟﹾﺒﹶﻴﹾﻊﹸ ﻋﹶﻦﹾ ﺗﹶﺮﹶﺍﺽﹴ . ﱠ ﺍﷲﹶ ﻋﹶﻠﹶﻴﹾﻪﹺ ﻭﹶﺳﹶﻠﱠﻢﹶ ﺍﹺﻧﱠ ﹸ ﺍﷲﹺ ﺻﹶ ﹸ : ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﹶﺳﹸﻮﹾﻝ ﹺ ﺳﹶﻌﹺﻴﹾﺪﹺ ﺍﹾﹸﺪﹾﺭﹺﻱﱢ ﻳﹶﻘﹸﻮﹾﻝ ﻋﹶﻦﹾ ﺃﹶ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ
·                Artinya :  Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah Saw. bersabda: sesungguhnya  jual beli itu didasarkan atas saling meridai.(HR. Ibnu Maajah).
·                Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:
1.    Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli.
2.    Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk membayar hutang.
3.    Sunah, misalnya menjual barang kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan barang yang dijual.
4.    Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjual belikan. Menjual barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman masyarakat.[5]
C. Rukun Jual Beli
Jual beli dinyatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun jual beli berarti sesuatu yang harus ada dalam jual beli. Apabila salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi, maka jual beli tidak dapat dilakukan.
     Adapun rukun jual-beli menurut Jumhur Ulama ada empat, yaitu:[6]
a.    Bai’ (penjual)
b.    Mustari (pembeli)
c.    Shighat (ijab dan qabul)
d.    Ma’qud ‘alaih (benda atau barang).
D. Syarat Sah Jual Beli
·                Jual beli dikatakan sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Persyaratan itu untuk menghindari timbulnya perselisihan antara penjual dan pembeli akibat adanya kecurangan dalam jual beli. Bentuk kecurangan dalam jual beli misalnya dengan mengurangi timbangan, mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang berkualitas lebih rendah  kemudian dijual dengan harga barang yang berkualitas baik. Rasulullah saw. melarang jual beli yang mengandung unsur tipuan. Oleh karena itu seorang pedagang dituntut untuk berlaku jujur dalam menjual dagangannya.
·                Adapun syarat sah jual beli adalah sebagai berikut:
1.  Penjual dan pembeli
a.    Jual beli dilakukan oleh orang yang berakal agar tidak tertipu dalam jual beli. Allah Swt.berfirman dalam QS. An-Nisaa’ (4):5:
·         وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
·         Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu.(Q.S An-Nisaa’[4]:5)
b.    Jual beli dilakukan atas kemauan sendiri (tidak dipaksa). Dalam Surah AnNisaa’ ayat 29 Allah berfirman
·         يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
·         Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar) kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. (QS. An-Nisa [4]:29)
c.    Penjual dan pembeli sudah baligh atau dewasa, akan tetapi anak-anak yang belum baligh  dibolehkan melakukan jual beli untuk barang-barang yang bernilai kecil, misalnya jual beli buku dan koran.
2.  Syarat-syarat barang yang dijual
a.  Keadaan barang suci atau dapat disucikan.
b.  Barang yang dijual  memiliki manfaat.
c.   Barang yang dijual adalah milik penjual atau milik orang lain yang dipercayakan kepadanya untuk dijual.
·         Rasulullah bersabda:
·         ﹸﹾﻠﹺﻚﹸ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ( ﱠ ﻓﹺﻴﹾ ﹶ ﺑﹶﻴﹾﻊﹶ ﺍﹺﻻ ﻻ
·         Artinya: Tidak Sah jual beli kecuali pada barang yang dimiliki. (HR. Abu Daud dari Amr bin Syu’aib).
d.  Barang yang dijual dapat diserahterimakan sehingga tidak terjadi penipuan dalam jual beli.
e.  Barang yang dijual dapat diketahui dengan jelas baik ukuran, bentuk, sifat dan bentuknya oleh penjual dan pembeli.
3.  Ijab Qabul
·            Ijab adalah pernyataan penjual barang sedangkan Qabul adalah perkataan pembeli barang. Dengan demikian, Ijab Qabul merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli atas dasar suka sama suka. Ijab dan Qabul dikatakan sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  Qabul harus sesuai dengan ijab.
b.  Ada kesepakatan antara ijab dengan Qabul pada barang yang ditentukan mengenai ukuran dan harganya.
c.   Akad tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad, misalnya: “Buku ini akan saya jual kepadamu Rp 10.000,00 jika saya menemukan uang”.
d.  Akad tidak boleh berselang lama, karena hal itu masih berupa janji.
E.  Pengertian Pinjam Meminjam
·                Pinjam meminjam dalam istilah fikih disebut ‘ariyah. ‘Ariyah berasal dari bahasa Arab yang artinya pinjaman. ‘Ariyah adalah pemberian manfaat suatu benda yang halal dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharap imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak barang dan nantinya akan dikembalikan secara utuh, tepat pada waktunya.
·                Semua benda yang bisa diambil manfaatnya dapat dipinjam atau dipinjamkan. Peminjam harus menjaga barang tersebut agar tidak rusak, atau hilang. Peminjam hanya boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjam. Sebagai bentuk tolong menolong, pinjam meminjam merupakan bentuk pertolongan kepada orang yang sangat membutuhkan suatu barang.
·                Pinjam meminjam dalam kehidupan sehari-hari dapat menjalin tali silaturrahim, menumbuhkan rasa saling membutuhkan, saling menghormati, dan saling mengasihi. Oleh karena itu, pinjam meminjam harus dilandasi dengan semangat dan nilai-nilai ajaran Islam.
·                Allah Swt. memberikan tuntunan, agar pinjam meminjam dicatat dengan teliti mengenai syaratnya, waktu pengembaliannya, cicilannya, jaminannya, dan bagaimana penyelesaiannya jika terjadi permasalahan. Hal ini semata-mata untuk memberikan kenyamanan dan keamanan kepada pemilik barang dan peminjam. Namun kenyataannya kita terkadang mengabaikan hal tersebut karena alasan sudah saling kenal dengan peminjam, masih saudara, tetangga dekat, atau nilai barang tidak seberapa. Padahal pencatatan itu sebenarnya untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surah Al-Maidah ayat 2:
·                وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
·                Artinya: … Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan …. (QS. Al-Maidah [5]:2)
·                Sering kita mendengar berita di televisi tentang penggelapan barang pinjaman, penyalahgunaan barang pinjaman, dan pertengkaran karena masalah pinjam meminjam uang yang kadang berakibat kematian seseorang. Oleh karena itu, mulai sekarang kita harus melakukan pencatatan urusan pinjam meminjam, termasuk saksi dan perjanjiannya apabila barang yang dipinjam memiliki nilai jual yang tinggi. Sebaiknya dalam urusan pinjam meminjam itu ada orang yang meminjam, orang yang meminjamkan, dan saksi.
·                 
·                 
F.  Hukum Pinjam Meminjam
·                Hukum asal meminjamkan sesuatu kepada orang lain adalah sunah karena menolong orang lain, tetapi bisa berubah menjadi wajib maupun haram.
1.    Wajib: apabila meminjamkan sesuatu kepada orang lain yang sangat membutuhkan. Misalnya  meminjamkan mobil untuk mengantar orang sakit keras ke rumah sakit.
2.    Haram: apabila meminjamkan barang untuk melakukan perbuatan maksiat atau perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Misalnya meminjamkan uang untuk beli minuman keras, atau meminjamkan pisau untu berkelahi atau meminjamkan mobil untuk melakukan perampokan.
G. Rukun dan Syarat Pinjam Meminjam
·                Adapun rukun dan syarat pinjam meminjam adalah sebagai berikut :
1.    Orang yang meminjamkan (musta’ir), syaratnya:
a.  Baligh
b.  Berakal
c.   Bukan pemboros
d.  Tidak dipaksa
2.    Orang yang meminjam (mu’ir), syaratnya:
a.  Baligh
b.  Berakal
c.   Bukan pemboros
3.    Barang yang dipinjam (musta’ar), syaratnya:
a.  Memiliki manfaat dan dapat dimanfaatkan untuk suatu keperluan
b.  Barang pinjaman tidak rusak waktu dikembalikan
4.    Ijab Qobul, syaratnya:
a.  Lafal ijab dan qobul dapat dimengerti oleh kedua belah pihak
b.  Lafal ijab dilanjutkan dengan qobul
H. Kewajiban Pinjam Meminjam
·                Apabila meminjam barang dari orang lain, maka kita boleh mengambil manfaat dari barang pinjaman tersebut sesuai kesepakatan. Misalnya kalian meminjam pensil atau buku kepada teman, setelah selesai digunakan, maka barang pinjaman itu harus dikembalikan. Agar pinjam meminjam dapat bermanfaat dan membawa kebaikan bagi kedua belah pihak maka peminjam berkewajiban:
1.    Menjaga barang pinjaman dengan baik.
2.    Memanfaatkan barang sesuai dengan perjanjian tanpa merusaknya.
3.    Tidak meminjamkan barang pinjaman pada orang lain, kecuali mendapat izin dari pemilik barang.
4.    Apabila barang pinjaman rusak, peminjam wajib memperbaiki atau  menggantinya.
5.    Apabila barang pinjaman memerlukan ongkos angkutan atau biaya perawatan, maka biaya tersebut ditanggung oleh peminjam.
6.    Pinjaman yang disertai jaminan, waktu mengembalikan barang harus membayarnya.[7]
I.    Ikhlas Meminjamkan Barang
·         Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial, artinya makhluk yang membutuhkan saling tolong menolong satu dengan lainnya. Diantara prakteknya adalah meminjamkan barang kepada orang yang membutuhkan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2:
·         ٢...ِۚنَٰوۡدُعۡٱلَ وِمۡثِۡ ٱل ََ  ْواُنَاوَعَ ت َ َ و ٰۖ ىَوۡقَّٱلَ وِِّبۡ ٱل ََ  ْواُنَاوَعَتَو
Artinya: … Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan …. (QS. Al-Maidah [5]:2)


[1] M.Khamzah dkk, Modul Hikmah Membina Kreatifitas dan Prestasi, (Purwokerto : Arifandani), hlm.15.
[2] Moh Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : Thoha Putra), 1978, hlm. 402.
[3] M.Khamzah dkk, Modul Hikmah Membina Kreatifitas dan Prestasi, (Purwokerto : Arifandani), hlm. 69-70.
[4] Ibid, hlm. 72.
[5] Ibid, hlm. 74.
[6] Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah untuk UIN,STAIN, PTANIS, dan Umum, (Bandung : Pustaka Setia), 2006, hlm. 765.
[7] Ibid, hlm. 106-107.

Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia

 Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia Oleh : Sukron Ibnu Rofiq Banyak kasus pelanggaran di Indonesia yang mencermink...