Tuesday, January 2, 2018

ESSAY tentang SIM dan TILANGAN



SURAT IZIN MENGEMUDI

SIM adalah bukti registrasi dan  identifikasi yang diberikan oleh polri kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan adminidtrasi ,ssehat jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas, dan trampil mengemudikan kendaraan bermotor. Setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudi (pasal 77 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009).
Dalam masyarakat masih banyak yang belum punya SIM terutama masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan beranggapan atau berasumsi “ di desakan ngga ada polisi, lagian motor sudah bayar pajak, motor beli sendiri, mengapa harus buat SIM? “. Juga prosedur pembuatan SIM yang rumit dan masyarakat menganggap dalam proses pembuatan SIM petugas mempersulit prosesnya. Masyarakat kota juga masih ada yang belum punya SIM tapi punya kendaraan bermotor.
Masalah di atas telah melanggar atau tidak mengamalkan pancasila sila ke 2 yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Fenomena di atas tidak menggambarkan manusia yang beradab, karena masyarakat masih banyak yang belum mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Juga bertentangan dengan UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “ segala warga  negara bersamaan kedudukannnya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pada pasal ini warga negara wajib menjujung hukum yang telah ada dan melaksanakan.
Untuk mengatasi masalah yang timbul seperti di atas  maka pemerintah mengadakan razia sepeda motor di jalan jalan kota. Razia itu bertujuan untuk menertibkan pengendara dan meminimalisir kecelakaan yang kerap terjadi. Kecelakaan   yang sering sering terjadi disebabkan oleh  kurang patuhnya pengendara terhadap peraturan lalu lintas. Baik unsur kesengajaan atau tidak (tidak tahu tentang peraturan lalulintas) , tidak memakai helem, tidak menyalakan lampu, tidak membawa SIM atau STNK, atau aksesoris motor yang tidak standar. Seringnya pengendara yang kena tilang itu karena tidak membawa SIM.
Mengapa kebanyakan pengendara yang kena tilang itu tidak membawa SIM? Kebanyakan karena masalah pembuatan nya , tes yang harus di lakukan dinilai sangat sulit. Warga juga berpendapat kalo polisi telah mempersulit proses tersebut. Kemudian polisi menawarkan membuat SIM  tanpa tes tapi tarifnya dinaikan. Yang tadinya tarif cuma 100 ribu naik jadi sekitar 600-700 ribu. Dan fenomena ini sudah jadi rahasia umum.
Padahal yang namanya surat izin mengemudi harusnya diberikan kepada orang yang diyakini bisa mengendarai kendaraan dengan baik dan mengetahui rambu rambu lalulintas. Untuk itu dalam proses pembuatan SIM ada ujian tertulis dan ujian praktek. Tetapi mengapa polisi malah memberi SIM kepada yang mampu memmbayar mahal?? Bukan kepada orang yang sudah pandai berkendara. Munkin malah bisa jadi ini yang menjadi factor banyaknya kecelakaan. Berasa penindasan bagi orang orang yang kurang mampu untuk mengeluarkan uang sebanyak itu. Membuat SIM tidak mampu tetapi selalu kena tilang. Denda harus dibayar dalam waktu kurang dari seminggu dengan STNK sebagai jaminannya. Fenomena tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28J ayat (2) “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk  kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang  undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai nilai agama,keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Seharusnya, karena pemerintah telah mewajibkan orang yang berkendara untuk mempunyai SIM, pemerintah memudahkan pada warga yang ingin membuat SIM bukan malah dipersulit seperti sekarang.
Dari kasus di atas , polisi telah melakukaan pelanggaran terhadap pancasila sila ke 5 yaitu “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”.  Ketika polisi mempersulit ujian pembuatan SIM dan menawarkan kemudahan dengan membayar lebih mahal, itu sangatlah tidak menguntungkan bagi masyarakat menengah kebawah dan menguntungkan masyarakat yang kaya. Kasus ini juga bertentangan dengan  UUD 1945 pasal 28H ayat (2) “setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan” disini keadilan sudah tidak di terapkan lagi oleh salah satu aparat pemerintahan.
Bukan hanya tidak menerapkan keadilan tapi juga melakukan tindakan suap atau sogok. Perbuatan  ini diharamkan oleh agama islam karena disamakan dengan perbuatan riba. Dimana riba akan menjadi dosa bagi yang melakukan , yang meyaksikan ,yang tahu dengan adanya perbuatan riba. Tidak hanya itu, dalam undang undang No. 11 Tahun 1980 yang terdiri dari 6 pasal dan berisi tentang “ tindak pidana suap” telah melarang adanya tindak suap menyuap. Menjadi pertanyaan adalah kemana uang hasil suap tersebut, diguanakan untuk apa? Kepentingan negara kah atau kepentingan pribadi ? Sejauh ini saya belum tahu tetang jawaban dari pertanyaan tersebut.
Akhir akhir ini razia motor menjadi kerja rutin polisi berpindah pindah dari jalan ke jalan. Setiap hari polisi mengeluarkan surat tilang diberikan kepada pelanggar tata tertib lalu lintas. Sampai sampai ada warga yang berkata  “ polisi yang nilang  itu sudah di tarjet satu hari harus ngeluarin segini  surat tilang”. Seolah olah polisi telah di perintah oleh atasannya dalam sehari harus mengeluarkan sekian surat tilang. Iya, kalo kita amati kerja polisi yang ditugaskan untuk merazia pengguna jalan tidaklah pasti waktu selesainya. Seperti tidak ada ketetapan yang disepakati, berapa jam waktu peraziaan  atau sampai jam berapa waktu razia dilakukan. Seakan polisi merazia sampai surat tilang habis atau sudah mencapai target. Perhatikan juga proses pengambilan STNK yang telah ditahan, seharusnya pengendara melakukan sidang terlebih dahulu seperti yang telah tertulis dalam surat tilang seminggu setelah ditilang. Tapi pada nyatanya proses sidang tertulis di surat tilang hanya untuk formalitas saja, nyatanya tidak ada sidang yang dilakukan pada waktu yang telah di tentukan.
Pelanggaran pada sila ke dua telah di lakukan warga tersebut, karena warga telah negative thinking dan juga menyebar isu yang belum jelas. Tapi kalo dipikir juga masuk akal ketika polisi bebuat seperti itu. Apapun yang sebenarnya terjadi razia tetap razia dan tetap dilakukan dengan alasan mentertibkan lalulintas.
Semua yang telah tertulis diatas telah menjadi rahasia umum masyarakat. Tetapi tidak ada yang menindak kasus tersebut, seolah-olah itu semua sudah menjadi kebiasaan yang tidak melanggar aturan aturan dalam negara. Tidak ada tindakan tegas dari aparat hukum yang berwenang. Fenomena ini sangat tidak mencerminkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara hukum “
Akhirnya warga negara Indonesia maupun dari aparat pemerintah sendiri belum bisa menjadikan  pancasila dan UUD 1945 sebagai landsan dalam kehidupan sehari hari dan dalam membangun bangsa ndonesia. Berdasarkan kenyataan yang ada di Negara kita , masih banyak kejahatan yang terjadi, keadilan belum berdiri tegak, masih jauh dari kesejahteraan dan kemiskinan masih tersebar dimanamana marilah kita mulai dari diri sendiri. Mulailah menanamkan nilai nilai pancasila dan mematuhi UUD 1945 sebagai undang undang yang mengatur kehidupan warga Negara Indonesia.




BY : IBNUSUFIE

Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia

 Urgensi Penerapan Pendidikan Moral Bagi Masa Depan Indonesia Oleh : Sukron Ibnu Rofiq Banyak kasus pelanggaran di Indonesia yang mencermink...