SURAT IZIN MENGEMUDI
SIM adalah bukti registrasi dan identifikasi yang diberikan oleh polri kepada
seseorang yang telah memenuhi persyaratan adminidtrasi ,ssehat jasmani dan
rohani, memahami peraturan lalu lintas, dan trampil mengemudikan kendaraan
bermotor. Setiap orang yang mengemudi
kendaraan bermotor wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan bermotor
yang dikemudi (pasal 77 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009).
Dalam masyarakat masih banyak yang belum punya SIM terutama
masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan beranggapan atau berasumsi “ di
desakan ngga ada polisi, lagian motor sudah bayar pajak, motor beli sendiri,
mengapa harus buat SIM? “. Juga prosedur pembuatan SIM yang rumit dan
masyarakat menganggap dalam proses pembuatan SIM petugas
mempersulit prosesnya. Masyarakat kota juga masih ada yang belum punya SIM tapi
punya kendaraan bermotor.
Masalah di atas telah melanggar atau tidak mengamalkan pancasila
sila ke 2 yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Fenomena di atas tidak
menggambarkan manusia yang beradab, karena masyarakat masih banyak yang belum
mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Juga bertentangan dengan
UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “ segala warga negara bersamaan kedudukannnya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.” Pada pasal ini warga negara wajib menjujung hukum yang telah ada
dan melaksanakan.
Untuk mengatasi masalah yang timbul seperti di
atas maka pemerintah mengadakan razia
sepeda motor di jalan jalan kota. Razia itu bertujuan untuk menertibkan
pengendara dan meminimalisir kecelakaan yang kerap terjadi. Kecelakaan yang sering sering terjadi disebabkan
oleh kurang patuhnya pengendara terhadap
peraturan lalu lintas. Baik unsur kesengajaan atau tidak (tidak tahu tentang
peraturan lalulintas) , tidak memakai helem, tidak menyalakan lampu, tidak
membawa SIM atau STNK, atau aksesoris motor yang tidak standar. Seringnya
pengendara yang kena tilang itu karena tidak membawa SIM.
Mengapa kebanyakan pengendara yang kena tilang
itu tidak membawa SIM? Kebanyakan karena masalah pembuatan nya , tes yang harus
di lakukan dinilai sangat sulit. Warga juga berpendapat kalo polisi telah
mempersulit proses tersebut. Kemudian polisi menawarkan membuat SIM tanpa tes tapi tarifnya dinaikan. Yang
tadinya tarif cuma 100 ribu naik jadi sekitar 600-700 ribu. Dan fenomena ini
sudah jadi rahasia umum.
Padahal yang namanya surat izin mengemudi
harusnya diberikan kepada orang yang diyakini bisa mengendarai kendaraan dengan
baik dan mengetahui rambu rambu lalulintas. Untuk
itu dalam proses pembuatan SIM ada ujian tertulis dan ujian praktek. Tetapi
mengapa polisi malah memberi SIM kepada yang mampu memmbayar mahal?? Bukan
kepada orang yang sudah pandai berkendara. Munkin malah bisa jadi ini yang
menjadi factor banyaknya kecelakaan. Berasa penindasan bagi orang orang yang
kurang mampu untuk mengeluarkan uang sebanyak itu. Membuat
SIM tidak mampu tetapi selalu kena tilang. Denda harus dibayar dalam waktu
kurang dari seminggu dengan STNK sebagai jaminannya. Fenomena tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28J ayat (2) “dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang
undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai nilai agama,keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Seharusnya, karena pemerintah
telah mewajibkan orang yang berkendara untuk mempunyai SIM, pemerintah
memudahkan pada warga yang ingin membuat SIM bukan malah dipersulit seperti
sekarang.
Dari kasus di atas , polisi telah melakukaan pelanggaran terhadap
pancasila sila ke 5 yaitu “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”. Ketika polisi mempersulit ujian pembuatan SIM
dan menawarkan kemudahan dengan membayar lebih mahal, itu sangatlah tidak
menguntungkan bagi masyarakat menengah kebawah dan menguntungkan masyarakat yang
kaya. Kasus ini juga bertentangan dengan
UUD 1945 pasal 28H ayat (2) “setiap orang berhak mendapatkan kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan” disini keadilan sudah tidak di terapkan lagi
oleh salah satu aparat pemerintahan.
Bukan hanya tidak menerapkan keadilan tapi juga melakukan tindakan
suap atau sogok. Perbuatan ini
diharamkan oleh agama islam karena disamakan dengan perbuatan riba. Dimana riba
akan menjadi dosa bagi yang melakukan , yang meyaksikan ,yang tahu dengan
adanya perbuatan riba. Tidak hanya itu, dalam undang undang No. 11 Tahun 1980
yang terdiri dari 6 pasal dan berisi tentang “ tindak pidana suap” telah
melarang adanya tindak suap menyuap. Menjadi pertanyaan adalah kemana uang hasil suap
tersebut, diguanakan untuk apa? Kepentingan negara kah atau kepentingan pribadi
? Sejauh ini saya belum tahu tetang jawaban dari pertanyaan tersebut.
Akhir akhir ini razia motor menjadi kerja rutin polisi berpindah
pindah dari jalan ke jalan. Setiap hari polisi mengeluarkan surat tilang
diberikan kepada pelanggar tata tertib lalu lintas. Sampai sampai ada warga
yang berkata “ polisi yang nilang itu sudah di tarjet satu hari harus ngeluarin
segini surat tilang”. Seolah olah polisi
telah di perintah oleh atasannya dalam sehari harus mengeluarkan sekian surat
tilang. Iya, kalo kita amati kerja polisi yang ditugaskan untuk merazia
pengguna jalan tidaklah pasti waktu selesainya. Seperti tidak ada ketetapan
yang disepakati, berapa jam waktu peraziaan
atau sampai jam berapa waktu razia dilakukan. Seakan polisi merazia
sampai surat tilang habis atau sudah mencapai target. Perhatikan juga proses pengambilan STNK yang
telah ditahan, seharusnya pengendara melakukan sidang terlebih dahulu seperti
yang telah tertulis dalam surat tilang seminggu setelah ditilang. Tapi pada
nyatanya proses sidang tertulis di surat tilang hanya untuk formalitas saja,
nyatanya tidak ada sidang yang dilakukan pada waktu yang telah di tentukan.
Pelanggaran pada sila ke dua telah di lakukan
warga tersebut, karena warga telah negative thinking dan juga menyebar isu yang
belum jelas. Tapi kalo dipikir juga masuk akal
ketika polisi bebuat seperti itu. Apapun yang sebenarnya terjadi razia tetap
razia dan tetap dilakukan dengan alasan mentertibkan lalulintas.
Semua yang telah tertulis diatas telah menjadi
rahasia umum masyarakat. Tetapi tidak ada yang menindak kasus tersebut, seolah-olah
itu semua sudah menjadi kebiasaan yang tidak melanggar aturan aturan dalam negara. Tidak ada tindakan tegas dari aparat hukum yang berwenang. Fenomena ini sangat
tidak mencerminkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sangat bertentangan
dengan UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara
hukum “
Akhirnya warga negara Indonesia maupun dari aparat pemerintah sendiri belum
bisa menjadikan pancasila dan UUD 1945
sebagai landsan dalam kehidupan sehari hari dan dalam membangun bangsa ndonesia.
Berdasarkan kenyataan yang ada di Negara kita , masih banyak kejahatan yang
terjadi, keadilan belum berdiri tegak, masih jauh dari kesejahteraan dan
kemiskinan masih tersebar dimanamana marilah kita mulai dari diri sendiri. Mulailah menanamkan nilai nilai pancasila dan mematuhi UUD 1945
sebagai undang undang yang mengatur kehidupan warga Negara Indonesia.